Akademisi dan Pengamat Hukum: Dewas KPK Harus Patuhi Putusan PTUN

Reporter Tribunnews.com Ilham Rian Pratama melaporkan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Akademisi Universitas Indonesia Ujang Komaruddin menegaskan pentingnya Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) dalam menghormati dan menegakkan pengadilan. 

Menurut Ujang, keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang memenangkan kasus Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron patut dihormati.

“Dewa bekerja sesuai aturan, perwakilan KPK juga bekerja sesuai amanah, tidak melanggar kode etik. Ya, tentu kemenangan Nurul Ghufron atas PTUN merupakan perintah pengadilan yang harus dihormati, tapi kalau Nurul Ghufron melanggar kode etik, Dewas juga harus mengusutnya, kata Ujang kepada wartawan, Sabtu (25 Mei 2024).

Dia menambahkan, semua proses harus dihormati dan yang terpenting menjaga kredibilitas KPK. 

“Lembaga KPK harus dilindungi,” kata Ujang.

Pengamat hukum Edi Hardum juga berpendapat serupa, yang menekankan asas hukum res judicata pro veritatae habitur yang artinya putusan pengadilan harus tetap dilaksanakan meskipun para pihak menganggapnya salah. 

Keputusan PTUN terkait persidangan Nurul Ghufron yang menguatkan gugatan harus dilaksanakan. Kita adalah negara hukum, dimana polisi adalah pemegang kekuasaan tertinggi, kata Edi.

Edi menjelaskan, meski ada pro dan kontra terhadap putusan tersebut, namun prinsip supremasi hukum mengharuskan semua pihak menaati putusan hakim. 

“Komisi Korupsi adalah lembaga negara yang membawahi berjalannya Komisi Tipikor, karena meskipun keputusan tersebut menurut banyak pihak salah, namun karena kita mengikuti hukum, hukum sebagai panglima harus mengikuti prinsip Komisi Tipikor. keputusan hakim. “Kalau misalnya dinilai salah, tentu akan diajukan upaya hukum lain terhadap putusan tersebut,” kata Edi.

Sebelumnya, Koordinator Persatuan Pemberantasan Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menyinggung soal keputusan sementara PTUN yang meminta Dewas KPK menunda pembacaan putusan etik Nurul Ghufron. 

Menurut Boyamin, PTUN tidak boleh mencampuri urusan Dewas KPK yang bukan pejabat pemerintah. 

“Pemberhentian sementara ini tidak berdasarkan surat keputusan, dan Dewas KPK bukan pejabat penyelenggara negara sehingga sebenarnya bukan milik PTUN,” kata Boyamin.

Ia pun menyayangkan sikap Nurul Ghufron yang dinilainya tidak sopan terhadap Dewas. 

“Ghufron seharusnya menunggu serangkaian penyelidikan etis dan menghormati keputusan tersebut.” “Jika tidak setuju, bisa mengajukan gugatan atau banding,” ujarnya. Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menjawab pertanyaan wartawan usai diperiksa Komite Pengawas KPK di gedung Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, Jakarta, Selasa (14/5/2024). Nurul Ghufron diperiksa etik oleh Komite Eksekutif (Dewas) KPK atas dugaan pelanggaran etik saat mempengaruhi pejabat Kementerian Pertanian (Kementan) untuk melakukan mutasi pekerja ke daerah. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

Dalam putusan sementaranya, PTUN Jakarta memerintahkan Dewas KPK menunda pembacaan putusan pengadilan tentang kode etik dan kode etik Ghufron. 

Nurul Ghufron sendiri saat ini sedang mengajukan banding Perdewas KPK Nomor 3 dan 4 Tahun 2021 ke Mahkamah Agung (MA) dan berurusan dengan Dewas KPK yang bekerja sama dengan tujuh pengacara. 

“Kami sudah mengajukan perkara ini sejak tanggal 24. Kami sudah meminta putusan sementara,” kata Ghufron. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *