Ahli Kesehatan: Indonesia Perlu Belajar soal Harga Obat Murah dan Pengendalian TBC dari India

Laporan reporter Tribunnews.com Rina Ayu

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pakar kesehatan dan paru Prof. Tjandra Yoga Aditama mengatakan hubungan persahabatan antara India dan Indonesia harus terus dibina.

Banyak hal yang bisa dipelajari Indonesia dari aspek kesehatan.

Misalnya saja tentang harga obat yang lebih rendah, pengendalian TBC secara massal, asuransi kesehatan bagi lebih dari satu miliar penduduk India, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan India, serta pakar kesehatan dan kedokteran India yang terkenal – di seluruh dunia.

“Kapasitas India dalam memproduksi berbagai jenis obat, alat diagnostik dan vaksin diekspor ke berbagai negara dan merupakan salah satu sumber obat dan vaksin terpenting di dunia.  Semoga lima hal ini bisa ditindaklanjuti dengan kunjungan kenegaraan Presiden Prabowo kali ini, kata Profesor Tjandra di Jakarta, Senin (27/1/2025).

Ia mengungkapkan, saat menjabat Direktur Penyakit Menular WHO di Asia Tenggara selama lima tahun, harga obat di India jauh lebih murah dibandingkan di india.

Misalnya harga 1 tablet atorvastatin 20 mg di apotek di Jakarta adalah Rp 6.160 dan harga di India hanya INR 4,9 atau Rp 1.000.

Lalu tablet Clopidogrel 75mg di Jakarta harganya Rp 7.835 dan di India hanya INR 7,7 atau Rp 1.540.

Obat Telmisartan 40mg di Jakarta harganya Rp. 5.198, dan harganya di India hanya INR 7,4 atau Rp 1.500.

Lalu harga obat Concord 2,5mg di Jakarta Rp 10.711 sedangkan harga di India hanya INR 7,8 atau Rp 1.560.

“Semua paket obat di India selalu mencantumkan harganya. Jadi kalau mau beli di kota mana pun di India, harganya sama persis, dan tentunya dikontrol ketat oleh pemerintah. Ini adalah contoh bagus yang juga bisa diterapkan di Indonesia, dengan dua keuntungan. “Keuntungan pertama adalah masyarakat mengetahui harga pastinya karena tertera pada kemasan obat, dan keuntungan kedua adalah harganya sama di seluruh negeri, di apotek mana pun saat membelinya,” jelas Prof. Tjandra

Juga tentang pengendalian Tuberkulosis atau TBC di India.

Pada bulan April 2024, India melaporkan bahwa kasus TBC di negaranya merupakan yang tertinggi kedua di dunia.

India berhasil menurunkan angka kematian akibat tuberkulosis dengan cukup tajam, dari 28/100.000 penduduk pada tahun 2015 menjadi 23/100.000 penduduk pada tahun 2022.

Angka lain juga menunjukkan bahwa kematian akibat TBC di India telah turun dari 494.000 pada tahun 2021 menjadi 331.000 pada tahun 2022.

Kini India telah berhasil mencapai target tahun 2023 yaitu memulai pengobatan pada 95 persen pasiennya, angka ini sangat tinggi.  

Program pengurangan TBC di India sebagian besar dikelola oleh departemen kesehatan pemerintah. Namun peran swasta juga semakin meningkat, artinya 33 persen kasus akan ditangani oleh klinik swasta pada tahun 2023.

Pemerintah India, kata Prof. Tjandra, memiliki lima tantangan yang hampir serupa dengan Indonesia, yaitu gizi buruk, HIV, diabetes, alkohol, dan kebiasaan merokok.

“Alangkah baiknya jika pengalaman dari India juga dijadikan bahan pertimbangan dan kajian dalam keputusan pemerintah dalam mengambil kebijakan TBC di negara kita, tentunya jika memungkinkan juga bisa dijadikan acuan. harap direktur pascasarjana RS Yarsi.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *