Ahli Hukum Tata Negara Menilai Revisi UU MK Dilakukan untuk Melumpuhkan Peradilan Konstitusi

Reporter Tribune News Ibriza Fasti Ifami melaporkan

Berita Tribun.

Charles menilai perubahan UU Mahkamah Konstitusi dilakukan untuk melemahkan Mahkamah Konstitusi.

Dia menduga, persiapan sedang dilakukan untuk mengamankan pemerintahan masa depan.

Saat dihubungi (15/5/2024), Charles mengatakan: “Ini dimaksudkan untuk mengabaikan versi ini. Yang terjadi adalah memastikan pemerintahan Prabowo-Gibran dan KHDR bisa mengontrol semua institusi.”

Ia juga mengatakan, penghapusan mekanisme check and balance disebabkan adanya beberapa permasalahan yang muncul menjelang transisi pemerintahan.

Misalnya saja isu penambahan jumlah kementerian dan revisi UU Mahkamah Konstitusi yang saat ini ramai dibicarakan masyarakat Indonesia.

“Kita sedang menuju era penolakan checks and balances. Saya kira aliansi ini bisa diperluas hingga Mahkamah Konstitusi mengancam produk legislasi,” ujarnya.

Menurut Charles, pemerintah berupaya mematikan sistem peradilan sebagai pertahanan terakhir dalam menjaga supremasi hukum dengan melakukan amandemen terhadap UU Mahkamah Konstitusi.

“Salah satu independensi MK adalah independensi hakim. Ada jaminan keselamatan dan kesejahteraan pribadi, termasuk jaminan masa jabatan, sehingga tidak ada halangan,” kata Charles.

Ia menilai hal ini melemahkan kerja Mahkamah Konstitusi. Apalagi, kasus Perselisihan Pemilihan Umum (PHPU) saat ini masih berjalan.

“Perilaku ini menunjukkan bahwa KHDR mempunyai kebiasaan meninggalkan warisan buruk di setiap akhir masa jabatannya.”

Juga saat Charles Senin (13/5/2024) atau libur KHDR.

Menurut dia, meski sudah mengikuti aturan dan ketentuan, namun dengan diadakannya rapat bisnis KHDR pada masa libur berarti tidak ada konsep partisipasi bermakna atau partisipasi bermakna dalam proses pembuatan undang-undang dari putusan Mahkamah Konstitusi.

“Oleh karena itu, saya pikir kita memerlukan keputusan Mahkamah Konstitusi, yang lebih mementingkan proses resmi.” Dibantah oleh MAHFUD MD

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan saat itu, Mahfud MD, menolak RUU tersebut dengan mengatakan bahwa RUU tersebut hanya untuk kepentingan beberapa pihak.

Mahfud Selasa (14/5/2024).

Mahfud mengenang, RUU MK sempat ditolak saat dirinya mewakili pemerintah sebagai Menteri Politik, Hukum, dan Keamanan periode 2019-2023.

Mahfud saat itu mempertanyakan apakah RUU MK tiba-tiba dibahas menjelang pemilu 2024.

“Ketika saya mewakili pemerintah dan menghadapi mereka, saya menyerah, tidak ada lockdown, tidak ada perubahan hukum sebelum itu,” kata Mahfoud. HADI TJAHJANTO menyetujui

Namun Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan saat ini Hadi Tjajanto sepakat membawa RUU Mahkamah Konstitusi ke sidang penuh sebagai representasi pemerintah.

“Atas nama pemerintah, hari ini kami telah menerima hasil pembahasan RUU tersebut yang menjadi dasar pengambilan keputusan atau pembahasan yang dilakukan di tingkat panitia kerja. RUU Mahasabha KHDR RI Mahkamah Konstitusi,” ujarnya.

Menurut Hadi, ada berbagai persoalan penting dalam amandemen yang dibahas MK bersama KHRD.

Ia meyakini perubahan tersebut akan memperkokoh kehidupan berbangsa dan bernegara serta memperkuat peran Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi.

“Kami berharap kemitraan baik antar pemerintah yang dilakukan KHDR RI dapat terus menjaga terciptanya negara kesatuan yang kita semua cintai,” kata Hadi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *