Laporan reporter Tribunnews, Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) saat ini sedang mengadakan diskusi besar dengan negara-negara anggotanya mengenai apa yang diharapkan WHO dan negara-negara di dunia dalam menghadapi wabah penyakit seperti Covid-19.
WHO sedang mengupayakan kesepakatan konsensus dengan negara-negara anggotanya pada sesi WHO ke-77 pada Mei 2024.
Terkait perjanjian pandemi yang sedang dibicarakan, Yayasan Kesehatan AIDS Indonesia (AHF) menghimbau negara-negara berkembang seperti Indonesia dan negara-negara miskin untuk waspada agar isi perjanjian tersebut tidak rusak atau musnah.
Perundingan WHO mengenai Konvensi Pandemi akan segera mendekati keputusan akhir. Namun, semua diskusi di WHO diadakan secara tertutup, tidak termasuk partisipasi masyarakat.
AHF Indonesia meminta agar keputusan yang diambil dan disepakati dalam perjanjian tersebut harus adil dan mengutamakan kebutuhan masyarakat yang terkena dampak epidemi, khususnya di Indonesia dan negara berkembang lainnya.
“Kami akan terus menggalakkan kampanye S.O.S untuk mendapatkan keadilan dan tidak menguntungkan negara-negara maju karena kerja sama epidemi, tidak ada yang akan aman sampai semua orang terlindungi,” kata Bapak Asep Eka Nur Hidayat, Direktur AHF Indonesia dalam sebuah pernyataan. jumpa pers. pertemuan di Jakarta, Senin (27/5/2024).
“Kampanye S.O.S ini kami angkat karena kami sangat peduli dengan masalah kesehatan masyarakat karena di WHO sedang ada diskusi mengenai kerja sama untuk melawan epidemi dan minggu-minggu ini adalah waktu yang sangat penting. Kami ingin pemerintah Indonesia berpartisipasi dalam diskusi ini untuk memastikan kesetaraan. antar negara,” kata Asep.
AHF Indonesia adalah organisasi non-pemerintah yang bekerja di 46 negara untuk mempromosikan HIV/AIDS di seluruh dunia. Di Indonesia, organisasi ini telah beroperasi sejak tahun 2016 di 7 wilayah.
Aditya Wardhana, Direktur Eksekutif Koalisi AIDS Indonesia (IAC) mengatakan bahwa organisasinya mendorong akses terhadap obat-obatan dan vaksin serta teknologi kesehatan yang terjangkau dalam kemitraan epidemi yang akan dikoordinasikan oleh WHO dan negara-negara anggotanya.
“Saat ini sedang terjadi diskusi sulit di WHO namun di Indonesia hal ini tidak membuat banyak orang khawatir. Kita telah belajar dari epidemi tahun 2020 yang sangat berbahaya dan terbukti bahwa dunia tidak siap menghadapi krisis kesehatan seperti yang terjadi pada tahun 2020. Wabah Covid,” kata Aditya.
“Tidak ada satu pun negara yang siap, sehingga tidak dapat disangkal bahwa banyak ketakutan terhadap epidemi ini. Namun ada juga pihak yang mendapat manfaat besar,” tegasnya.
Oleh karena itu, penting untuk menciptakan kesepakatan internasional untuk memerangi epidemi ini. “Karena kita tidak tahu kapan wabah itu terjadi,” ujarnya.
“Jika perjanjian pandemi ini dilakukan dengan baik maka akan membawa manfaat bagi negara-negara yang menerima perjanjian tersebut,” kata Aditya.
“Tetapi kita melihat banyak ketidakadilan. Siapa yang berkepentingan dengan kerja sama melawan epidemi ini? Seringkali negara-negara miskin dan berkembanglah yang paling diuntungkan dari kerja sama dalam memerangi epidemi ini.”
“Sekarang perusahaan swasta dan negara maju paling diuntungkan. Obat/vaksin yang laris manis, negara maju juga mendapat pajak lebih besar,” ujarnya.
Ia mengatakan, berdasarkan apa yang terjadi, negara-negara Afrika kesulitan mendapatkan vaksin selama epidemi Covid.
“Indonesia mengaku sudah mendapat kesepakatan dari perjanjian tersebut namun belum diungkapkan ke publik apa yang akan didapat Indonesia,” ujarnya.
“Yang kita lihat juga apa yang terjadi pada masyarakat. Jangan sampai ketidakadilan antar negara merugikan masyarakat Indonesia,” imbuhnya.
“Setiap perjanjian yang berdampak pada harkat dan martabat orang banyak, seperti pembahasan perjanjian epidemi yang sedang dibahas di WHO, juga perlu memberikan informasi kepada masyarakat mengenai isinya.
Agung Prakoso – Indonesia for Global Justice (IGJ) mengatakan hingga saat ini organisasinya terkena dampak perjanjian perdagangan bebas khususnya terkait hak kekayaan intelektual sehingga menyebabkan harga obat yang dijual oleh perusahaan farmasi yang memiliki hak paten menjadi mahal.
“Mereka (perusahaan farmasi global) berhak mengetahui harga dan jumlah barang. Ini sudah terjadi sejak WTO (Organisasi Perdagangan Dunia) berdiri. Kami merasa sulit mendapatkan vaksin di awal epidemi,” dia berkata. dia berkata. Besar
“Kami juga kesulitan mencari masker yang asli karena hak paten pembuatan masker yang bagus adalah buatan 3M. Di pasaran selama ini harganya masih tinggi, Rp 20 ribu per potong,” ujarnya.
Ia juga menjelaskan bahwa pada tahun 2021, 5 persen penduduk di Afrika sudah menerima vaksin Covid, hal ini juga terjadi di negara-negara kaya di Afrika.
Oleh karena itu, kami merekomendasikan untuk mengabaikan penggunaan hak paten jika terjadi masalah penanggulangan epidemi di WTO. Namun usulan kami ditolak oleh perusahaan farmasi yang memiliki hak paten, kata Agung.
Aditya menambahkan, Indonesia membutuhkan kerja sama untuk melawan epidemi tersebut. Tapi kita harus mengikuti keadilan. “Jangan datang dari mereka yang punya uang dan barang,” tegasnya.
Aditya mencontohkan, karena memiliki jumlah penduduk yang besar, negara seperti Indonesia dan India patut mendapat manfaat yang sangat besar, karena berkontribusi besar dalam pengumpulan nomor genom.
“Indonesia harus berhati-hati dalam melakukan diskusi di WHO. Kami meminta pemerintah Indonesia membuka ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam diskusi yang sedang berlangsung di WHO agar penanganan bencana ini membawa manfaat yang besar bagi masyarakat,” ujarnya. . dia berkata. .
Agung menambahkan, negara-negara dengan industri kimia besar seperti Swiss, negara-negara Uni Eropa, Inggris, dan Amerika Serikat juga menolak, namun berpendapat tengah. Negara-negara ini memiliki industri farmasi yang kuat.
“Kami tidak bisa mengatakan perusahaan farmasi berada di belakang WHO dalam perundingan epidemi ini karena mereka tidak ikut serta dalam perundingan tersebut,” kata Agung.
“Gagasan untuk memperoleh patogen dan membagi keuntungannya ditolak oleh beberapa negara maju seperti Inggris dan Amerika selama perundingan WTO. Semua perundingan WHO kini dilakukan secara tertutup. Negara-negara yang mendukung prinsip perjanjian ini antara lain kesepakatan negara-negara Afrika, termasuk Indonesia,” ujarnya.
Menurut Agung, Indonesia berada dalam kubu membantu negara-negara yang memiliki akses terhadap patogen dan berbagi manfaat, karena patogen yang dilepaskan dan dijadikan obat sehat, seharusnya negara donor mendapat 20 persen haknya.
Rinciannya, 10 persen diberikan gratis selama wabah, sisanya diberikan diskon besar.
“Tapi ide ini ditolak negara maju, mereka hanya setuju memberi 5 sampai 10 persen,” kata Agung.