Agar Dasar Hukum Kuat, Pemerintah Perlu Merujuk Kajian Ilmiah Saat Susun Regulasi Tembakau

Laporan Danang Triatmojo dari Tribunnews.com

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Mengurangi prevalensi merokok melalui penggunaan produk tembakau alternatif menjadi salah satu diskusi di Asia-Pacific Harm Reduction Forum (APHRF) 2024. 

Produk tembakau alternatif, seperti rokok elektronik (vape) dan produk tembakau yang dipanaskan, berpotensi menurunkan risiko bagi perokok dewasa. 

Sebab, produk tembakau alternatif memiliki profil risiko yang lebih rendah dibandingkan rokok.

Dengan cara ini diharapkan pemerintah dapat membuat peraturan berdasarkan penelitian ilmiah terhadap produk tembakau alternatif yang secara fundamental berbeda dengan rokok sehingga harus diatur secara berbeda.

Dokter dari Institut Gigi RSGM R.E. Martadinata, Kolonel Marinir Yun Mukmin Akbar mengatakan, prevalensi rokok juga menjadi masalah di kalangan militer. 

Secara keseluruhan, faktor lingkungan yang kompleks, pengaruh teman sebaya, dan penerimaan sosial berkontribusi terhadap tingginya prevalensi merokok di kalangan tentara.

“Kita tidak bisa tiba-tiba melarang perokok untuk berhenti, ini terlalu sulit. Fokus pada pengurangan ancaman terkait tembakau dan penghormatan terhadap hak asasi manusia harus menjadi prioritas,” kata Yun Mukmin, Selasa (16 Juli 2024).

Yoon Mukmin mengatakan militer sudah mulai menggunakan konsep pengurangan risiko dalam upaya mengurangi prevalensi merokok.  Empat pilar konsep pengurangan risiko

Implementasi konsep ini didasarkan pada empat pilar utama, antara lain kerangka kebijakan, pendanaan dan sumber daya, partisipasi masyarakat, serta pelatihan dan pendidikan. 

Keempat pilar tersebut dirumuskan menjadi tiga strategi intervensi.

Pertama, program berhenti merokok komprehensif yang memberikan konseling dan akses terhadap produk tembakau alternatif. 

Strategi kedua adalah kebijakan larangan merokok di instalasi militer.

Terakhir, kampanye pendidikan sebagai bagian dari program untuk mengenali risiko kesehatan yang disebabkan oleh merokok dan mempromosikan budaya bebas rokok.

“Pemerintah dapat mengembangkan kebijakan melalui integrasi teknologi dan pendekatan komprehensif untuk mengurangi jumlah perokok. Tujuan utama pengurangan dampak buruk akibat tembakau adalah untuk meningkatkan kualitas kesehatan. Kolaborasi antar pemangku kepentingan diperlukan untuk mengurangi kebiasaan merokok di kalangan militer. lingkungan,” jelas Yun Mukmin. Penelitian ilmiah dapat memperkuat landasan hukum

Dalam forum yang sama, dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Harry Prasetio mengatakan pemerintah harus mempertimbangkan manfaat dan risiko serta naskah akademis yang dihasilkan dari penelitian ilmiah dalam proses pengembangan kebijakan tembakau. . Sebab, kebijakan ini mempunyai dasar hukum yang kuat. 

Misalnya, dalam undang-undang kesehatan, pemerintah telah mengamanatkan peraturan berbeda untuk produk turunan rokok konvensional dan rokok elektrik. 

Misalnya saja dalam UU Kesehatan, pemerintah sebenarnya telah mengamanatkan regulasi barang industri yang berbeda dengan rokok tradisional dan rokok elektrik, kata Harry.

Dikatakannya, dalam hukum perkara terdapat konsep satu asas subyektif. Dimana item yang berbeda harus diatur dengan undang-undang yang berbeda. Oleh karena itu, ia berharap pemerintah juga membedakan aturan kedua fasilitas tersebut dengan aturan berbeda di PP Kesehatan.

“Kalau kita menggunakan hukum kasus, ada yang namanya aturan subjektif. Ini adalah dua objek yang berbeda, sehingga diatur secara berbeda. Jadi saya harap peraturan pemerintah (PP) mengaturnya berbeda,” ujarnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *