Laporan reporter Tribunnews.com Danang Triatmoyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2024 menunjukkan sektor pariwisata Indonesia mengalami pemulihan dengan 1,14 juta wisatawan mancanegara berlibur ke Indonesia pada Desember 2023. Kemudian jumlah wisatawan lokal mencapai 60,3 juta orang.
Namun, sektor pariwisata Indonesia yang sedang berkembang pesat masih memiliki sejumlah permasalahan yang dianggap perlu diatasi oleh pemerintah guna meningkatkan pendapatan negara. Salah satunya adalah pengelolaan perpajakan oleh online travel agent (OTA) luar negeri yang beroperasi di Indonesia.
Direktur Pusat Studi Ekonomi dan Hukum Ekonomi Digital (CELIOS), Nailul Hooda, mengatakan perjalanan luar negeri berbasis aplikasi harusnya dikenakan pajak untuk disetorkan ke kas.
“Bea pajak dari OTA luar negeri harusnya disetor ke kas negara,” kata Nailul kepada wartawan, Jumat (19/7/2024).
Ia mengatakan hal tersebut tidak lepas dari tumbuhnya model bisnis serupa yang beroperasi di Indonesia. Pasalnya, pertumbuhan model bisnis ini tidak diimbangi dengan perbaikan pengelolaan perpajakan, dimana banyak platform perjalanan luar negeri yang tidak patuh pajak.
Meski terdaftar sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Swasta, namun biaya pajak tetap ditanggung pihak hotel karena platform travel tersebut tidak memiliki badan usaha (PE) tetap di Indonesia.
Menurut Nailul, pemerintah harus bisa memaksimalkan pajak yang dikenakan kepada OTA asing. Hanya saja, pengoperasian ini bisa dilakukan jika OTA asing yang beroperasi memiliki kantor perwakilan di Indonesia.
Pemerintah juga harus meminta mereka untuk mendirikan kantor perwakilan di Indonesia, selain memudahkan konsumen dalam mengatasi masalah pemesanan, juga dapat memudahkan petugas pajak dalam memeriksa data pajak.
Jadi perlu penyesuaian, seperti kantor perwakilan di Indonesia, agar ketika kita perlu mengecek datanya, petugas pajak kita tidak bingung, ujarnya.
Pembayaran pajak dari OTA luar negeri juga harus dilacak. Jika tidak, pembayaran pajak dikhawatirkan tidak mencukupi.
“Yang harus diikuti adalah pembayaran pajak harus diawasi dengan dokumen yang tercatat dengan baik,” ujarnya.
Sebelumnya, komentar mengenai pembatasan OTA asing disuarakan oleh Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI). Selama ini yang terjadi di lapangan adalah pihak hotel terpaksa ‘membayar pajak’ kepada negara.
Sekretaris Jenderal PHRI (Sekyen) Maulana Yusran mengatakan, meski memiliki daftar Penyelenggara Sistem Elektronik (ESO), namun jika tidak membentuk BUT akan menimbulkan kerugian bagi pelaku pariwisata dalam negeri.
Ditegaskannya, ketidakpatuhan OTA asing dalam penetapan NO, selain merugikan pelaku usaha perhotelan dan konsumen, negara juga dirugikan karena hilangnya potensi pendapatan pajak komisi dan pajak penjualan (PPN).
“Mereka menagih kami, hotel, pajak.” Padahal kalau OTA lokal yang bayar, bukan kita. Hal ini tentu tidak menjadi beban bagi kami,” kata Maulana.
Diketahui, untuk PPN, potensi nilai pajak atas transaksi dengan OTA luar negeri bisa mencapai sekitar Rp3,18 triliun. Sedangkan potensi kerugian komisi sebesar 1,1 persen mencapai Rp318,67 miliar.
“Kalau tidak punya NA, negara berpotensi kehilangan penerimaan pajak.” Itu sudah termasuk komisi dan PPN,” tutupnya.
PHRI sendiri telah melaporkan hal ini ke Direktorat Jenderal Pajak (Dijen) Kementerian Keuangan sejak tahun 2017 demi penegakan hukum dan peraturan. Namun implementasi UU 36/2008 tentang Pajak Penghasilan dan UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan masih belum terlaksana.
(*)