Laporan jurnalis Tribunnews.com, Reena Ayug
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Masalah kesehatan mental menghantui karyawan maupun pekerja.
Dampaknya tidak main-main karena mempengaruhi produktivitas, hubungan sosial, dan kualitas hidup seseorang.
Direktorat Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan, Dr. Puspita Tri Utami, M.Si, M.KKK mengatakan situasi ini merupakan fenomena gunung es.
“Semakin masyarakat sadar sejak awal, maka risiko kesehatan mental bisa dikurangi,” ujarnya dalam diskusi Kamis (24/10/2024) bertajuk Membangun kesadaran akan risiko kesehatan mental di lingkungan kerja.
Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia pada tahun 2019, diperkirakan 15 persen orang dewasa yang menganggur menderita gangguan mental.
Secara global, diperkirakan 12 miliar hari kerja hilang di seluruh dunia setiap tahunnya karena depresi dan kecemasan, yang mengakibatkan hilangnya produktivitas hingga $1 triliun per tahun.
Dokter spesialis kesehatan masyarakat dan spesialis kesehatan dan keselamatan kerja (K3), dr. Felosofa Fitria, MMR, mengatakan terdapat faktor risiko terjadinya gangguan jiwa di tempat kerja seperti beban kerja yang berlebihan, kurangnya kejelasan peran, dan kurangnya dukungan manajemen.
“Mengelola faktor-faktor ini merupakan tantangan besar, namun sangat penting bagi kesehatan mental pekerja,” ujarnya.
Pekerja harus didorong untuk lebih memperhatikan kesehatan fisik dan mental.
Dunia usaha juga harus proaktif dalam mendukung kesejahteraan mental karyawan melalui akses terhadap layanan kesehatan mental atau bentuk pelatihan kesadaran risiko dan pengurangan dampak buruk terkait.
Sementara itu, Psikolog Sukmayanthi Rafisukmawan, M.Psi, Psi, Psi, Psi mengatakan, salah satu kebiasaan berisiko akibat stres dan tekanan di lingkungan kerja dapat diatasi dengan pendekatan Cognitive Behavior Modification (CBM).
Misalnya saja kebiasaan merokok yang sangat sulit untuk segera dihentikan bahkan di tempat kerja.
“Jika berhenti tiba-tiba, orang yang terpaksa berhenti merokok akan merasa cemas, gelisah, kurang konsentrasi, dan tidak nyaman. Ujung-ujungnya, besar kemungkinannya untuk kambuh, yaitu orang tersebut akan kembali ke kondisi semula atau entah bagaimana. kasus meningkat. “Jadi pendekatan pengurangan risiko mungkin bisa menjadi pilihan,” kata Sukmayanthi.
Dari sisi ahli gizi klinis, Dr. Andri Kelvianto, M. Gizi, Sp. GK, AIFO-K, menyerukan kepada pemerintah untuk menyediakan kerangka peraturan yang mendukung program pendidikan gizi, termasuk pengembangan kampanye publik yang berfokus pada pentingnya pola makan seimbang, mengurangi kebiasaan buruk dan mendorong penggunaan alternatif yang berisiko rendah. .
Sementara itu, sektor swasta dapat didorong untuk menghasilkan produk alternatif yang risikonya lebih rendah bagi masyarakat luas.
“Ada Food and Mood Project di Amerika. Pemerintah menyediakan makanan bergizi seimbang di sekolah. Mereka tidak hanya diberi makan, tapi fokus pada perubahan nutrisi untuk menjamin ketahanan pangan. Hasilnya adalah suasana hati yang lebih baik, mereka lebih produktif.” mengurangi risiko masyarakat terkena gangguan kesehatan mental,” jelas dr Andre.
Ketua Asosiasi Sadar Risiko Indonesia (Masindo) Dimas Sailendra menjelaskan, kegiatan ini dapat membuka ruang dialog dan kerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan terkait untuk bersama-sama mengedukasi masyarakat luas tentang perilaku sadar risiko.
“Kami ingin mengajak masyarakat untuk memperhatikan risiko-risiko kerja di lingkungan kerja, khususnya kesehatan mental. Tantangan kesehatan mental seperti kecemasan, depresi, dan stres berpotensi besar menghambat produktivitas masyarakat Indonesia.” pengurangan, termasuk intervensi kebijakan, pendidikan dan dukungan psikologis, sangat dibutuhkan,” jelas Demas.