Aturan RPMK Soal Kemasan Polos Tanpa Merek Produk Tembakau Dinilai Justru Munculkan Masalah Baru

Dilansir reporter Tribunnews.com Danang Triatmojo

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Industri produk tembakau alternatif tengah fokus pada kebijakan kemasan polos tanpa merek yang masuk dalam rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang keamanan produk tembakau dan rokok elektrik.

Hal ini dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 dan Peraturan Negara (SRP) 28 Tahun 2024 yang statusnya lebih tinggi dari RPMC dan tidak mengatur kewajiban pengemasan polos. Kementerian Kesehatan dinilai melampaui kewenangannya dengan tetap melanjutkan penerapan kemasan polos melalui RPMK.

Garindra Kartasasmita, Sekretaris Jenderal Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI), mengaku khawatir penerapan kebijakan tersebut akan menimbulkan sejumlah permasalahan baru, termasuk meningkatnya peredaran dan konsumsi produk ilegal di kalangan masyarakat. 

Bahkan sulit untuk menciptakan ruang di mana anak di bawah umur dapat mengakses dan mengontrol produk ini di situs.  

“Aturan yang sederhana hanya akan menambah permasalahan baru. Sebagian besar negara G20 tidak menggunakan kemasan polos untuk produk tembakau alternatif,” jelas Garindra. , Rabu (9 November 2024).

Ia mengimbau Kementerian Kesehatan lebih memahami kemungkinan permasalahan baru yang mungkin timbul ketika peraturan kemasan rokok diterapkan pada produk tembakau alternatif. 

Selain berpotensi meluasnya peredaran produk terlarang dan berkurangnya penerimaan pajak cukai, kebijakan ini juga berpotensi meningkatkan prevalensi merokok di Indonesia.  

“Kita perlu melihat negara-negara yang berhasil mendukung transisi ke alternatif tembakau yang berisiko lebih rendah, daripada meniru negara-negara yang belum berhasil,” tegas Garindra.

Ia menambahkan: “Saya berharap Republik Demokratik Rakyat Korea-RI, pemangku kepentingan yang mewakili rakyat, juga mengakui masalah ini.”

Sementara itu, Paido Siahan, Ketua Asosiasi Konsumen Vape Indonesia (AKVINDO), juga mengkritisi wacana kemasan polos. Kementerian Kesehatan harus memperhatikan hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang lengkap dan jelas tentang produk yang digunakannya. 

Menghapus informasi branding dan kemasan justru dipandang mengurangi kemampuan konsumen dalam mendapatkan informasi produk untuk membantu mereka memutuskan produk yang tepat. Dengan demikian, rancangan resolusi ini melanggar hak konsumen atas informasi yang dapat dipercaya. 

“Dari perspektif konsumen dan pengurangan dampak buruk, penerapan aturan pengemasan yang sederhana tanpa membedakan produk tembakau alternatif dan rokok tidak dapat dilihat sebagai memberikan kesempatan yang adil bagi perokok dewasa untuk mengakses produk berisiko lebih rendah,” katanya.

Paido juga khawatir penerapan kebijakan kemasan polos tanpa merek akan menyebabkan konsumen beralih ke produk ilegal yang lebih murah dan mudah didapat. 

Sebab, produk ilegal tidak mendapat pengawasan ketat seperti produk legal. Pada akhirnya, masalah-masalah ini dapat menimbulkan risiko kesehatan yang lebih besar dan menambah beban lembaga penegak hukum.

“Kebijakan yang diambil harus seimbang, dengan mempertimbangkan tujuan kesehatan masyarakat, sekaligus melindungi hak konsumen dan memberikan pilihan yang lebih baik bagi perokok dewasa,” ujarnya. 

Sekadar diketahui, Kementerian Kesehatan berencana menyelesaikan RPMK ini pada minggu kedua September 2024 dengan dalih mencapai tujuan tersebut sebelum pergantian menteri. PMK tersebut dilaporkan memuat ketentuan kemasan polos tanpa merek untuk produk tembakau alternatif dengan mengacu pada Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC), yang belum diratifikasi oleh pemerintah Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *