10 Tahun Setia Pakai Biogas Kotoran Sapi, Warga Umbulharjo Sleman Bebas dari Ketergantungan Pada LPG

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Sebuah keluarga asal Umbulharjo, Kecamatan Kangkringan, Kabupaten Seleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, mempelopori energi terbarukan yang ramah lingkungan.

Keluarga Devi Astuti telah membuat biogas dari kotoran sapi selama 10 tahun untuk menghemat pengeluaran rumah tangga. Selama ini, keluarganya tidak perlu membeli elpiji untuk memasak di rumah.

Penggunaan biogas juga dapat menghemat biaya gas LPG yang setara dengan 2 3 3 kg tabung LPG per bulan.

Praktek ini awalnya dilakukan oleh ayah Devi Astuti, Nario Sutrisno, dengan menggunakan kotoran sapi di dekat rumah.

Caranya, kotoran sapi tanpa sisa makanan disemprotkan atau dicampur dengan air murni.

Kemudian ditempatkan pada saluran yang dihubungkan dengan wadah aerasi untuk menampung kotoran tubuh.

Kotak penyimpanannya berukuran dua meter persegi dan dalamnya dua meter, kata Nario Sutrisno.

“Soal semen, semakin dalam semakin baik,” kata Nario Sutrisno sambil menunjuk biodegradasi di dekat rumahnya.

Biogasters bekerja untuk proses pencernaan anaerobik atau enzim aerobik.

Komponen bahan organik yang disimpan dalam wadah tertutup mengalami proses biokimia untuk menghasilkan biogas. Gas alam merupakan sumber energi terbarukan yang diproduksi secara biologis.

Biomassa tersebut kemudian diumpankan langsung ke tungku di dapur Nario. Devi Astuti memasak menggunakan biogas kotoran sapi di kediamannya di Umbulharjo, Kecamatan Kangkringan, Kecamatan Seleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Kalau mau masak nyalakan aliran gas, kompor bisa menyala, kalau apinya biru tandanya gas sudah penuh.

Pria berusia 66 tahun itu berkata: “Jika apinya merah, berarti gasnya habis. Saat kotoran sapi ditambahkan ke tangki, gasnya muncul kembali.”

Dulu, sebelum dijadikan biogas, limbah peternakan warga Balong Wetan, Umbulharjo, Yogyakarta dibuang begitu saja sehingga berpotensi mencemari air dan menimbulkan bau.

Namun, kotoran sapi sedikit banyak telah diubah menjadi biogas sejak tahun 2011 pascaerupsi Gunung Merapi.

Bio ini digunakan untuk kebutuhan pangan sehari-hari.

Nyala api biogas tidak jauh berbeda dengan kompor LPG. Padahal, gas tungku yang digunakan Devi Astutti berasal dari biogas hasil pengolahan kotoran sapi.

Penggunaan gas alam dapat menghemat biaya, terutama untuk pembelian tabung gas LPG tiga kilogram. Naryo Sutrisno mengolah bioga dari kotoran sapi dengan cara mencampurkannya dengan air sebelum dimasukkan ke dalam biogaster untuk menghasilkan bioga di rumahnya di Desa Umbulharjo, Kecamatan Kangkringan, Suleiman.

“Jika Anda tidak menggunakan biogas, biasanya Anda membutuhkan 3 kg dari 4 tabung LPG dalam sebulan.”

“Kalau sekarang kebanyakan beli satu tabung saja dan aman. Tabung elpiji di sini harganya antara Rp 20.000 hingga Rp 22.000. Bisa hemat Rp 60.000 per bulan (atau sekitar Rp 720.000 per tahun),” kata Devi.

Selama lebih dari satu dekade, wanita sekaligus ayah berusia 42 tahun ini telah menggunakan Nario Biogas.

Menurutnya, memasak dengan biogas hampir sama dengan gas elpiji dan tidak ada perbedaan. Padahal, penggunaan biogas mempunyai beberapa keuntungan.

Karena selain lebih hemat, belanja juga lebih hemat dan cepat. “Karena apinya lebih besar, jadi lebih cepat masaknya,” ujarnya.

Mulai dari menggoreng, memasak sayur hingga merebus air, Devi mengandalkan Bioga untuk memasak semuanya.

Devi Astuti, warga DI Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Cangkringan, Umbulharjo, Umbulharjo, Balong Wetan memasak menggunakan api biru yang diperoleh dari biogas hasil pengolahan kotoran sapi (Tribun Jogja/Ahmad Syarifudin)

Namun pemanfaatan biogas untuk kebutuhan rumah tangga bukannya tanpa kendala.

Secara khusus, ada beberapa masalah di tingkat produksi. Pertama, karena relatif tingginya biaya pemasangan di masyarakat pedesaan,

Hal ini ditambah dengan kurangnya bahan baku yang diolah sehari-hari untuk kotoran ternak.

Sementara dari sisi konsumen, ada juga yang kurang berminat karena bagi warga yang menjual hewan ternak, proses penggunaan biogas lebih rumit dibandingkan tabung elpiji.

Namun, Nario mengatakan jika instalasi terpasang dengan aman, risiko penggunaan biogas sangat rendah.

Ia mencontohkan, ia telah menggunakan biogas dari kotoran sapi selama lebih dari satu dekade. Dalam prosesnya, diakuinya, kendala yang jarang ditemuinya.

Kalaupun proses produksinya dilaksanakan, hanya mempunyai dua ekor sapi dan gas lumpur akan mengalir lancar setiap hari. “Saya sudah menggunakan bio selama lebih dari 10 tahun dan tidak pernah mengganti instalasinya, hanya mengganti ovennya,” ujarnya.

Baginya, penggunaan biogas memiliki banyak keuntungan.

Selain menghemat biaya bulanan pembelian gas elpiji, sisa hasil olahan kotoran sapi bisa dijadikan pupuk organik.

Pupuk ini bisa diaplikasikan langsung pada kondisi basah atau kering. “Saya menggunakan sisa tanah untuk menyuburkan rumput dan tanaman, dan tanaman tumbuh dengan baik,” katanya.

Diketahui, praktik penggunaan biogas yang baik telah dilakukan sejak lama oleh masyarakat Desa Umbulharjo, Silaiman, Yogyakarta.

Balong Wetan tidak hanya tersedia di Padukhan saja, namun juga di beberapa restoran lainnya.

Menurut Kepala Dinas Kesejahteraan Desa Umbulharjo Sugeng Sunarto, pemindahan kotoran sapi ke Bioga dilakukan warga desa dari beberapa desa.

Selain Balong Wetan juga dilakukan oleh sebagian warga Gondang, Plosorejo, Karanggeneng dan Padukuhan Gambretan. Warga menggunakan gas alam untuk memasak di dapur.

Namun belakangan ini, karena jumlah ternak yang berkurang dan fasilitas yang rusak, beberapa warga tidak melanjutkan aktivitas pembuangan tersebut.

“Dulu banyak, sekarang banyak yang tidak berfungsi,” ujarnya.

Reporter Tribun Jogja, Alga 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *