TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kinerja Badan Pendukung Likuiditas Perbankan Indonesia (Satgas BLBI) dalam menangani tuntutan pemerintah kurang memuaskan.
Sebab, nilai kerusakan yang ditimbulkan terhadap negara yang diselamatkan masih sangat rendah dan jauh dari harapan.
Angka tersebut tidak sebanding dengan biaya yang harus dikeluarkan pemerintah untuk mendanai kerja gugus tugas BLBI.
“Jujur agak mengecewakan melihat hasil satgas BLBI, padahal jangka waktunya (satgas BLBI) cukup lama,” kata penggiat antikorupsi dan komentator hukum ini. , Harjuno Vivoho di Jakarta, Rabu (21/8/2024).
Tercatat hingga semester I 2024, Satgas BLBI telah memperoleh aset eks BLBI seluas 44,7 juta meter persegi dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) nasional sebesar Rp38,2 triliun.
Artinya, Satgas BLBI telah berhasil memulihkan 34,59 persen hak tagih negara dari kewajiban setara dengan $110,45 triliun.
Artinya, sejak dibentuk pada 2021, pendapatan Satgas BLBI belum mencapai 50 persen dari mandatnya.
Hal ini membuktikan bahwa persoalan BLBI memang merupakan persoalan yang kompleks, yaitu kombinasi dari moral hazard pihak pemangku kepentingan dan dalam hal ini kepentingan politik ekonomi yang cukup kuat.
“Selama BLBI memberikan uang tunai kepada peminjam, jumlah uang tunai yang dikumpulkan satgas BLBI hanya sebesar Rp1,5 triliun, sehingga tidak sesuai ekspektasi masyarakat,” jelasnya.
Harjuno menegaskan, BLBI yang pertama kali diberikan pada akhir 1990-an untuk menyelamatkan bank nasional, harus dikembalikan dengan dampak yang sama.
Namun, setelah upaya pengumpulan selama bertahun-tahun, uang yang terkumpul jauh lebih sedikit dari yang diharapkan.
Sebagian besar properti yang disita tidak sepenuhnya dinilai dalam bentuk uang dan merupakan jaminan.
“Transformasi aset nonmoneter menjadi aset yang bisa langsung digunakan pemerintah harus menjadi prioritas. Tanpa ini, akibatnya hanya kumpulan aset yang tidak mudah dimonetisasi,” tegas Harjuno.
Yang lebih mengkhawatirkan lagi, antara Januari 1998 dan 2024, dengan asumsi tingkat bunga tahunan sebesar 6%, jumlah piutang usaha adalah $502,48 triliun.
Artinya, bukan hanya pokok BLBI yang belum dilunasi, namun bunganya sudah terakumulasi selama lebih dari 26 tahun.
“Dengan bunga yang mencapai ratusan triliun rupiah menunjukkan betapa besarnya penderitaan negara jika masalah ini tidak segera diatasi,” tambah Harjuno.
Dengan berakhirnya mandat gugus tugas BLBI pada Desember 2024 dan rencana penyerahan tugas oleh Presiden Jokowi kepada Prabowo Subianto pada Oktober mendatang, terdapat kekhawatiran serius terhadap nasib penyelesaian utang BLBI.
Setiap pergantian kepemimpinan membawa risiko perubahan kebijakan dan prioritas, yang dapat mempengaruhi keberlanjutan upaya penanganan BLBI.
“Jika pemerintahan baru tidak memberikan dukungan penuh, ada risiko upaya pemulihan BLBI terhenti atau kehilangan momentum,” kata Harjuno.
Harjuno juga menekankan pentingnya pemerintahan baru untuk memastikan penanganan permasalahan BLBI tetap menjadi prioritas utama.
Dengan sisa sisa sekitar Rp72,25 triliun, jumlah yang harus dikembalikan beserta bunganya mencapai Rp502,48 triliun, sehingga upaya pengembalian uang masyarakat harus lebih didukung.
“Tanpa komitmen yang kuat dari semua pihak, pencapaian gugus tugas BLBI hanya bersifat anekdot, tidak berdampak nyata terhadap keuangan negara dan kesejahteraan masyarakat,” pungkas Harjuno.