TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Dorongan para ahli hukum untuk mengusut atau mempertimbangkan kasus mantan Kepala Pejabat Tana Bambu Mardani H Maming yang dinyatakan bersalah di tengah proses Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung (MA). ). Tidak pantas. .
Direktur Pemantauan Pengadilan Indonesia (ICM) Tri Wahu mengatakan para ahli hukum mendukung pemberantasan korupsi di Indonesia.
Dorongan terhadap penyidikan ahli hukum justru tampak mendukung Mardani H Maming, seorang narapidana suap dan pembayaran yang terkait dengan biaya tersebut.
“Sebenarnya masyarakat mengharapkan sebagian besar akademisi di universitas-universitas di Indonesia bertanggung jawab dan mendukung penuh agenda antikorupsi dan bukan sebaliknya. “Dalam kasus yang sedang diselidiki, ini soal suap, gratifikasi. Biayanya, bukan sekedar dikeluarkannya perintah dari instansi,” kata Tri Wahyu, Jumat, (11/10/2024).
Tri Wahu mengakui, pemeriksaan ahli hukum terhadap Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan hukuman terhadap Mardani H Maming dalam kasus korupsi dapat mempengaruhi independensi majelis hakim dalam memutus perkara peninjauan kembali yang sedang diproses di Mahkamah Agung. . Pengadilan.
“Pemeriksaan dilakukan sesuai permintaan PK narapidana, sehingga berisiko mempengaruhi independensi majelis hakim PK. Masyarakat Indonesia juga sering bertanya siapa yang mensponsori ujian dan penerbitan buku ujian tersebut?” jelasnya.
Tri Vahu menilai majelis hakim MA akan bekerja penuh dedikasi dan profesional dalam menyelesaikan PK yang diajukan Mardani H Maming.
ICM meminta MA, khususnya hakim PK, harus independen dalam memutus perkara PK dan berkomitmen meneruskan misi warisan baik mendiang Artidjo Alcostar, untuk memberantas korupsi di Indonesia, ujarnya.
Sebelumnya, Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Hariono Umar menegaskan, penyidikan tidak boleh dilakukan berdasarkan pemikiran atau gagasan belaka.
Menurut dia, penyidikan yang dilakukan ahli hukum Izin Usaha Pertambangan (IUP) Mardani H Maming kasus narapidana korupsi setidaknya harus memperkuat dua alat bukti.
“Deklarasi (penyelidikan ahli hukum) harus didukung minimal dua alat bukti baru. Tidak bisa hanya sekedar perasaan atau gagasan,” kata Hariono Umar, Rabu (9/10/2024).
Diketahui, pengadilan pertama memutuskan Mardani H Maming bersalah dan memvonisnya 10 tahun penjara dan denda Rp500 juta.
Tak hanya itu, terdakwa Mardani H Maming juga harus membayar uang pengganti sebesar Sh 110.601.731.752 (Rp 110,6 miliar).
Tak puas dengan keputusan tersebut, Mardani Banjarmasin mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT). Hal serupa juga berlaku bagi jaksa KPK.
Namun PT Banjarmasin menolak banding Mardani H Maming dalam keputusannya dan menambah hukumannya menjadi 12 tahun penjara dan denda Rp500 juta.
Mardani mengajukan banding ke Mahkamah Agung melalui pengacaranya. Namun, Mahkamah Agung menolak bandingnya dalam keputusannya.
Masih belum puas dengan putusan tersebut, Mardani dan pengacaranya mengajukan peninjauan kembali (PK) atas putusan kasasi tersebut ke Mahkamah Agung pada 6 Juni 2024.
PK mengajukan permohonan karena pemohon merasa ada kesalahan dan kontradiksi dalam keputusan juri.
Secara ringkas jalannya perkara, Mardani H. Maming (PK) memimpin sidang peninjauan kembali yang terdiri dari hakim Sunarto (Ketua Majelis), H. Ansori (Anggota I) dan Prim Haryadi (Anggota II).