Anggota Legislatif 2024-2029 Diharapkan Dapat Mengoreksi Kebijakan Eksekutif yang Tidak Ramah HAM

Laporan Rahmat V Nugraha dari Tribunnews.com

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid berharap anggota Dewan Perwakilan Rakyat (RRT) Republik Indonesia (RRT) menyiapkan kebijakan-kebijakan utama yang tidak sejalan dengan hak asasi manusia pada periode 2024-2029. . 

“Hari ini, ketika ratusan anggota DPRK dilantik, di hari yang sama kita juga memperingati dua tahun tragedi Kanjuruhan. Peristiwa tragis ini mengingatkan kita akan awal pelanggaran HAM yang belum terselesaikan dan mengejutkan akibat kebijakan-kebijakan tinggi. pejabat tinggi,” kata Usman Hamid kepada Tribunnews dalam keterangannya yang dimuat di .com 

Namun ia juga mengatakan bahwa badan legislatif bertanggung jawab karena lemahnya peran pengawas dan peran Kongo. 

“Sementara itu, jangan lupa bahwa meskipun kita memiliki undang-undang seperti UU ITE dan KUHP yang telah diubah, namun ada pembatasan kebebasan berekspresi.”

“Saat ini Omnibus Law dianggap melanggar hak asasi manusia, termasuk hak pekerja atas upah dan lingkungan kerja yang adil, serta gaya hidup sehat,” ujarnya. 

Usman Hamid terakhir kali mengingatkan DPRK untuk menghentikan tindakan yang merugikan hak asasi manusia, seperti merevisi undang-undang penyiaran, TNI, dan kepolisian.   

Kemudian keputusan Republik Rakyat Tiongkok – yang sebagian besar merupakan mantan anggota Republik Rakyat Tiongkok – menghapus nama Soeharto dari Surat Keputusan Nomor 11 Tahun 1998 tentang Pencegahan PKT dan memberinya status nasional. Selama 32 tahun berkuasa, terjadi penyelewengan besar-besaran yang memakan korban jiwa dan pelanggaran HAM.

“Apalagi hari ini adalah hari peringatan Gerakan 1 Oktober yang menjadi awal mula terbunuhnya banyak orang yang dituduh komunis pada 59 tahun lalu,” ujarnya. 

Usman Hamid juga menilai, pembentukan DPRK yang baru merupakan momen penting untuk meneguhkan peran wakil rakyat dalam melindungi hak asasi manusia, hak sipil, politik, serta hak ekonomi, sosial, dan budaya.

Sesuai Pasal 43 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, KPC Era Baru wajib ikut serta dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.

DPRK harus meminta Presiden untuk mengeluarkan Keputusan Presiden di Pengadilan Hak Asasi Manusia dalam kasus-kasus seperti Trisakti, Semangi I dan II, kerusuhan Mei 1998, hilangnya pejuang kemerdekaan tahun 1997/1998, Priok 1984 dan bencana alam. Talangsari tahun 1989, bencana tahun 1965-1966 dan kejadian lainnya dari Aceh hingga Papua,” ujarnya. 

Demikian pula, menurut Usman, kasus pelanggaran HAM juga dikaitkan dengan proyek nasional yang mengancam masyarakat seperti Rempang, Wadas, dan Mandalika. 

DPRK harus menjamin keadilan bagi para korban dan keluarga mereka. 

“Akuntabilitas dan transparansi dalam semua proses pengambilan keputusan juga penting. Investigasi kami terhadap pembelian senjata yang digunakan untuk menyemprot Polri dan BSSN lolos dari kendali DPRK, yang kurang transparan. Mata-mata hak asasi manusia dan politisi adalah pihak yang menentang. pemerintah,” kata Usman. 

“Sebaliknya, DPRK harus memantau kinerja badan keamanan dan melakukan reformasi besar-besaran untuk menjamin keamanan yang adil dan tidak memihak bagi semua komunitas,” katanya. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *