Amnesty International Indonesia Desak Pemerintah Hentikan Intimidasi Terhadap Masyarakat Rempang

Wartawan Tribunnews.com Rahmat W Nugraha melaporkan

Tribunius. 

Wiria mengatakan, intimidasi dan kekerasan mengganggu kehidupan warga Rempang, Batam, dan Kepulauan Riau.

“Satu tahun lalu, tepatnya pada 7 September 2023, saat warga melakukan protes terhadap pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City, intimidasi dan kekerasan terus dilakukan terhadap warga Rempang,” kata Wiria, Kamis (19/9/). 2024) melalui keterangan tertulis.

Viriya mengatakan tindakan kekerasan dan intimidasi tersebut hanya menunjukkan ketidakmampuan pemerintah melindungi warganya. Namun, hal ini menunjukkan masih adanya penindasan terhadap masyarakat lokal yang berjuang melindungi hak atas tanah mereka dari ancaman pembangunan PSN.

Oleh karena itu, Wiria mengatakan, pihaknya meminta aparat segera mengusut dan mengambil tindakan hukum tegas terhadap pelaku kekerasan dan intimidasi tersebut.

“Tindakan represif seperti ini tidak bisa dilanjutkan. Negara harus terlibat dalam melindungi pendapat dan ruang hidup warga negara. “Jangan mentolerir penindasan,” katanya.

Tak hanya itu, PSN menyebut pihaknya menuntut penghentian pembangunan Rempang Eco City yang terbukti merugikan masyarakat setempat. 

“Hak-hak masyarakat adat harus dilindungi dan dilindungi dari segala ancaman dan kesulitan dan mereka juga harus berpartisipasi secara berarti dalam pembangunan tanah atau wilayahnya,” ujarnya.

Kompas.id memberitakan, tiga warga Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau ditembak dan dilukai oleh karyawan PT Makmur Elok Graha. Kelompok Solidaritas Nasional Rempang meminta pihak berwenang mengambil tindakan terhadap orang-orang yang dituduh melakukan intimidasi dan kekerasan terhadap warga yang memprotes penggusuran di dekat proyek strategis nasional Rempang Eco City.

Salah satu warga yang menyaksikan kejadian tersebut, Asmah (44), mengatakan, pada Rabu (18/9/2024), empat pria tak dikenal tiba di Desa Sey Buluh sekitar pukul 10.45. Mereka mengendarai sepeda motor trail yang tak terhitung jumlahnya.

“Saat itulah kami mendatangi mereka untuk menanyakan baik-baik apa yang ingin mereka lakukan di desa kami. Kami berlima, empat perempuan dan satu laki-laki,” kata Asmah.

Ia mengatakan, keempat pria tersebut merasa terganggu dan warga merekam kejadian tersebut. Bahkan, orang tak dikenal itu sedang memegang ponsel dan memotret warga.

“Setelah itu kita mulai berkelahi dan saling dorong, margin semakin berkurang, warga lain berdatangan dan teman masyarakat semakin banyak.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *