TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pameran besar seni lukis Indonesia yang digagas Dewan Kesenian Jakarta atau Jakarta Binnale kembali digelar tahun ini.
Pameran yang pertama kali diselenggarakan sejak tahun 1974 ini akan hadir pada tahun 2024 tanpa tema, tim kuratorial, dan pemilihan karya seni yang disajikan secara ketat.
Bukan tanpa alasan Lumbung menjadi sebuah metode dan ide pengorganisasian.
Tahun ini Jakarta Biennale merayakan hari jadinya yang ke-50 dan setelah digelar di sejumlah ruang seni dan ruang publik yang menjadi ciri khasnya hingga saat ini, Jakarta Biennale 2024 kembali digelar di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta.
Jakarta Biennale HUT ke-50 tahun ini sukses menggandeng 20 kolektif yang tergabung dalam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta. Mereka antara lain RajutKejut, Setali Indonesia, Cut and Rescue, PannaFoto Institute, Indonesia Morning Class, Paseban Community, TrotoART, Gudskul Ecosystem, Westwew, Jakarta Wasted Artists, Atelir Ceremai, Persatuan Patung Indonesia – Jakarta, Society Jakarta art co, Serrum ArtHandling, Sanggar Seroja , Galeri Saku Kolektif, Gadis Bayar Tagihan, Sekolah Sablon Indonesia, Bengkel Anak Akar dan Rumah Penerbitan Hewan!.
Di tangan mereka, metodologi dan pelaksanaan Jakarta Biennale 2024 dibingkai dalam konsep ‘lumbung’, yang dapat dipahami sebagai wadah dimana seluruh sumber daya yang dimiliki secara kolektif/kelompok dan dimiliki secara individu disimpan dan dikelola bersama.
Melalui nilai-nilai dan praktik lumbung, organisasi Jakarta Biennale 2024 ingin mendorong pembagian sumber daya dan kekuasaan di antara beberapa kolektif/kelompok dan anggota masyarakat di berbagai wilayah di Jakarta.
Pada Jakarta Biennale 2024, Dewan Kota Jakarta berkolaborasi dengan beberapa pihak, termasuk kurator dan seniman asal Taiwan. Mereka berkolaborasi dalam kerangka kuratorial di bawah arahan kurator Taiwan, Sandy Hsuchu Lo, dalam acara bertajuk Topografi Kota Cermin.
Dalam kerangka kuratorial ini, mereka menciptakan keterhubungan antara enam kota di enam negara Asia Tenggara tentang kota-kota yang layak huni dan menarik.
Keenam kota tersebut antara lain Kuala Lumpur (Malaysia), Taipei (Taiwan), Phnom Penh (Vietnam), Bangkok (Thailand), Jakarta (Indonesia) dan Dhaka (Bangladesh).
Topografi Mirror Cities menampilkan karya kolaborasi setidaknya 60 seniman dan kolektif dari enam negara di Asia Tenggara. Program kuratorial ini mempunyai beberapa subprogram yang masing-masing bertajuk “Herbal-Urbanisme”, “Kota Siapa” dan “Medan Bergerak”.
Ketiganya mengeksplorasi sejarah kompleks dan hubungan kontemporer antara Taiwan dan Jakarta, termasuk interaksi perkotaan dan pertukaran budaya. Sementara itu, sub-show lainnya bertajuk Hope Valley mengeksplorasi hubungan serupa antara Jakarta dan Malaysia.
Sebagai pemilik program Jakarta Biennale, DKJ mempunyai peran sentral dalam menjaga keberlangsungan salah satu perhelatan seni kontemporer paling bergengsi di Indonesia ini.
Melalui visi dan misinya, DKJ mentransformasikan Jakarta Biennale menjadi sebuah acara yang tidak hanya memperkaya ekosistem seni tetapi juga mendorong dialog interdisipliner dan budaya, menjadikan seni sebagai alat untuk mentransformasi masyarakat.
Platform inovasi
Jakarta Biennale 2024 juga menjadi wadah inovasi dan kolaborasi seni bagi seniman Indonesia di luar Jakarta yang mengikuti program residensi Lab Indonesiana: Baku Konek.
Dalam program residensi yang dimulai Agustus hingga September 2024 ini, 17 seniman individu dan kolektif seni dari beberapa kota di Indonesia akan berkolaborasi dengan 11 kolektif yang tersebar di seluruh Indonesia.
Program residensi di dalam negeri ini juga bertujuan untuk membubarkan pemahaman umum di kalangan seni dan budaya bahwa residensi harus selalu dilakukan di luar negeri.
Jakarta Biennale 2024 terselenggara atas dukungan banyak pihak, termasuk Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia (Kemendikbudristek RI).
Seni perubahan
Jakarta Biennale 2024 resmi dibuka pada 1 Oktober hingga 15 November bertempat di Galeri Emiria Soenassa, Sudjojono, Oesman Effendi dan beberapa lokasi lain di TIM.
Tak hanya seni rupa, beberapa nama fotografer ibu kota seperti Adhi Wicaksono, Thoudy Hurricane, M. Zaenuddin, Rakhmawaty, Abyan, Fernando Randy dan kolektif Kelas Jurnalis Kecil Cilincing juga turut meramaikan Jakarta Biennale yang ke-50 kalinya.
Fernando Randy, salah satu fotografer yang karyanya menghiasi galeri, mengungkapkan rasa bangganya karena baru pertama kali terpilih mengikuti acara ini.
“Ini merupakan pameran Biennale pertama saya dan tentunya saya senang bisa terpilih menjadi salah satu peserta pameran di ajang akbar seni rupa kontemporer seperti Jakarta Biennale (JB), apalagi JB memasuki usianya yang ke-50.” juga kepada PannaFoto Institute yang telah memfasilitasi karya saya untuk dipamerkan di JB tahun ini,” kata Nando selaku akrab pada pembukaan Jakarta Biennale ke-50 di TIM, Jakarta, Selasa (10 Januari 2024).
Mengusung tema ‘Pembangunan Jakarta’, Nando bercerita tentang Jakarta yang terus-menerus dibangun namun menjadi bias karena pada akhirnya pembangunan tersebut gagal mencapai tujuannya dan menjadikan kota ini semakin indah.
“Ada gerakan perubahan saat kita memasuki fase baru pasca pandemi. “Saat ini banyak sekali bermunculan karya-karya foto pribadi, hal ini dikarenakan beberapa tahun belakangan ini kita banyak bekerja dari rumah,” kata pria kelahiran Palembang, Sumatera Selatan ini.
“Cerita visual tentang situasi sekitar yang sering diabaikan kini mulai bermunculan. Dan tentunya meningkatkan keberagaman fotografi adalah hal yang baik. Ia melanjutkan: “Karena hakikat seni adalah fleksibel seiring berjalannya waktu.
Setelah 14 tahun menjadi fotografer di Indonesia, ia berharap seni bisa menjadi jembatan perubahan di kota Jakarta.
“Saya ingin menyampaikan bahwa setelah pembebasan ibu kota, mungkin sudah saatnya pembangunan Jakarta lebih berpusat pada masyarakat dan lebih sensitif serta fokus pada semua gejala fenomena panas global yang berbeda-beda.” senjata utama untuk bersuara menciptakan perubahan,” ujarnya.