Pemerintah Diminta Tiru Layanan CPS di AS untuk Lindungi Anak-anak Korban Kekerasan

Laporan jurnalis Tribunnews.com Cherul Umam

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Komisi III DPR RI menyoroti meningkatnya prevalensi kekerasan terhadap anak.

RI Ahmad Sahroni, Wakil Ketua Komisi III DPR, mengatakan aparat pemerintah dan aparat penegak hukum Indonesia harus lebih efektif dalam upaya melindungi anak korban kekerasan.

Pertimbangkan keadaan darurat pelecehan anak saat ini.

Baru-baru ini, video penganiayaan anak SD berusia 10 tahun di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan (Sulsel) viral di media sosial.

Bocah yang dituduh mencuri uang neneknya itu dianiaya oleh kakaknya FR (44).

“Kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia masih tinggi dan sangat berbahaya. Kalau saya baca laporannya, tahun 2023 akan ada puluhan ribu kasus,” kata Sahroni kepada wartawan, Jumat (13/9/2024).

“Dan mengingat tren yang berkembang, saya kira pemerintah perlu melihat intervensi baru dalam penegakan hukum, yaitu hanya memberikan hukuman pidana bagi pelaku kejahatan,” ujarnya.

Sahroni mencontohkan anak yang dianiaya tidak bisa bertemu dengan pelaku dengan melarangnya berkomunikasi atau bertemu dengan korban.

Upaya ini mirip dengan CPS atau Child Protective Services di AS.

“Di Amerika, kita mempunyai CPS, dan jika hal tersebut terlalu berbahaya, negara dapat menjauhkan seorang anak dari keluarganya dan menempatkan mereka di wali yang kompeten atau di rumah persembunyian yang dibantu pemerintah,” kata Sahroni.

“Seorang penjahat bisa dilarang sama sekali untuk melihat anaknya. Jadi ini bukan sekedar kejahatan, tapi kita jauhkan anak tersebut dari sumber traumanya,” kata Sahroni.

Sahroni yakin program ini dapat membuat jera pelaku kejahatan karena mengurangi akses mereka terhadap anak-anak korban.

Oleh karena itu, pelaku tidak boleh ditemui di luar proses pidana sampai dia benar-benar dinyatakan sehat dan korban sudah pulih sepenuhnya dari traumanya, ujarnya.

Anak-anak kemudian menerima layanan penyembuhan, penyembuhan trauma, dan reintegrasi melalui CPS.

“Saya kira ini harus diatur dengan hati-hati oleh negara, karena anak adalah masa depan bangsa. Kita tidak bisa memiliki generasi masa depan yang penuh ketakutan, trauma, dan trauma psikologis,” tutupnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *