7 Fakta Wabah Bakteri Pemakan Daging di Jepang, Pasien Bisa Meninggal dalam Waktu 48 Jam

TRIBUNNEWS.COM – Hampir 1.000 kasus infeksi mematikan menyebar dengan cepat di Jepang, meningkatkan kekhawatiran di kalangan pejabat kesehatan.

Penyakit yang dikenal dengan nama streptococcal toxic shock syndrome (STSS) ini bisa berakibat fatal dalam waktu yang sangat singkat.

Mengutip India Times, berikut yang perlu Anda ketahui tentang penyakit ini. 1. Tegangan lebih pada kasus STSS

Institut Penyakit Menular Nasional Jepang mengeluarkan pernyataan pada bulan Maret tahun lalu yang memperingatkan bahwa jumlah kasus STSS di negara tersebut meningkat.

Hingga 2 Juni 2024, jumlah kasus STSS bertambah menjadi 977.

Jumlah tersebut melampaui total 941 kasus pada tahun lalu, menurut Institut Nasional Penyakit Menular. 2. Kebanyakan kematian terjadi dalam waktu 48 jam

“Sebagian besar kematian terjadi dalam waktu 48 jam,” kata Ken Kikuchi, profesor penyakit menular di Universitas Kedokteran Wanita Tokyo.

Dia menekankan perkembangan penyakit yang sangat cepat dan mencatat bahwa pasien bisa meninggal dalam waktu 48 jam setelah gejala pertama muncul. Sindrom syok toksik streptokokus (STSS) disebabkan oleh bakteri Streptococcus grup A (Institut Alergi dan Penyakit Menular Nasional AS) 3. Apa itu STSS?

STSS, atau sindrom syok toksik streptokokus, adalah penyakit serius yang disebabkan oleh infeksi Streptococcus grup A (GAS).

Penyakit ini ditandai dengan timbulnya syok yang cepat dan kegagalan organ, yang dapat mengancam jiwa jika tidak ditangani tepat waktu.

Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC), STSS terjadi ketika bakteri Streptococcus grup A memasuki jaringan dalam dan aliran darah dan kemudian melepaskan racun yang menyebabkan reaksi cepat dan berbahaya di dalam tubuh.

Meskipun penderita STSS jarang menularkan infeksinya secara langsung kepada orang lain, infeksi streptokokus grup A yang tidak terlalu serius dapat berkembang menjadi STSS jika tidak diobati. 4. Gejala dan pengobatan

Gejala awal STSS meliputi demam, menggigil, nyeri otot, dan mual.

Ketika penyakit ini berkembang, gejala yang lebih serius mungkin muncul, seperti tekanan darah rendah, peningkatan denyut jantung, dan kegagalan organ.

Perawatan intravena dengan antibiotik dosis tinggi dan perawatan suportif dapat digunakan. 5. Tindakan pencegahan

Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan antara lain menjaga kebersihan, segera mengobati infeksi streptokokus, dan memantau luka serta infeksi kulit dengan cermat.

Pendidikan kesehatan masyarakat tentang gejala dan risiko infeksi streptokokus grup A juga penting untuk deteksi dini dan pengobatan. 6. Siapa yang paling berisiko terkena STSS?

CDC mengatakan siapa pun bisa terkena STSS, namun faktor risiko tertentu dapat meningkatkan risiko Anda, termasuk:

– Usia – paling sering terjadi pada orang dewasa berusia 65 tahun ke atas

– Infeksi atau cedera yang merusak kulit

– Faktor kesehatan lainnya, termasuk diabetes dan gangguan penggunaan alkohol

Menurut CDC AS, “orang dengan luka terbuka mempunyai risiko lebih tinggi terkena STSS.”

Ini termasuk orang-orang yang baru saja menjalani operasi atau infeksi virus yang menyebabkan luka terbuka.

Namun, para ahli belum mengetahui bagaimana bakteri tersebut masuk ke dalam tubuh hampir separuh pasien STSS. 7. Wabah serupa terjadi di negara lain

Negara-negara lain juga mengalami epidemi serupa.

Pada akhir tahun 2022, setidaknya lima negara Eropa telah melaporkan peningkatan kasus penyakit streptokokus invasif grup A (GAS) kepada Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

WHO mencatat peningkatan kasus berkorelasi dengan pencabutan pembatasan Covid-19.

(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *