TRIBUNNEWS.COM – Perusahaan peralatan rumah tangga Tupperware dikabarkan bersiap untuk mengajukan pailit pada minggu ini.
Tupperware Brand Corporation adalah perusahaan multinasional yang berbasis di Amerika Serikat.
Perusahaan yang membuat produk penyimpanan plastik dengan segel kedap udara ini didirikan oleh seorang ahli kimia, Earl S. Tupper, pada tahun 1946 di Massachusetts.
Dikutip dari Reuters, Tupperware berencana mencari perlindungan di pengadilan setelah tidak dapat memenuhi persyaratan utangnya dan mencari bantuan dari penasihat hukum dan keuangan.
Persiapan kebangkrutan tersebut menyusul negosiasi berlarut-larut antara Tupperware dan pemberi pinjamannya mengenai cara mengelola utang lebih dari $700 juta atau setara Rp 10,85 triliun.
Saham perusahaan turun 15,8% menjadi 43 sen setelah penutupan berita kebangkrutan.
Apalagi, saham pembuat wadah makanan ikonik asal Amerika Serikat (AS) ini sudah anjlok tajam sejak tahun lalu.
Saham Tupperware telah kehilangan hingga 95% nilai pasarnya dalam tiga tahun.
Kinerja buruk ini diperparah setelah perusahaan mengatakan kepada investor awal tahun lalu bahwa mereka memiliki “keraguan besar mengenai kemampuan perusahaan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya.”
Dalam keterbukaan informasi baru-baru ini kepada regulator pasar saham AS, Komisi Sekuritas dan Bursa, manajemen Tupperware mengatakan perusahaan gagal melaporkan kinerja keuangan triwulanan terkini sesuai tenggat waktu.
Tupperware pun mengaku belum bisa menyelesaikan dan mengajukan laporan tahunan tahun 2023.
Sebagai informasi, Tupperware baru-baru ini membukukan kinerja keuangan kuartal III tahun lalu atau periode keuangan hingga akhir September 2023.
Dalam keterbukaan tersebut, Tupperware mengakui perseroan masih mengalami tantangan likuiditas yang signifikan dan masih terdapat keraguan yang signifikan terhadap kemampuannya menjaga kelangsungan usaha.
“Selain itu, departemen akuntansi perusahaan terus mengalami penurunan kinerja yang signifikan, termasuk keluarnya CFO baru-baru ini, yang mengakibatkan kesenjangan sumber daya dan keahlian, keterbatasan sumber daya, dan hilangnya kesinambungan pengetahuan,” kata Tupperware. Manajemen, dikutip CNBC.
Dengan kondisi tersebut, Tupperware menyatakan perusahaan terus memfokuskan upayanya pada dua hal utama.
Pertama, diskusi dengan calon investor dan mitra pembiayaan untuk mendapatkan bridging financing jangka pendek.
Kedua, menerapkan rencana pengembalian bisnis yang strategis.
Sebagai catatan, pada akhir September 2023, total utang Tupperware mencapai $777 juta atau setara $12 triliun.
Tupperware menikmati lonjakan permintaan selama pandemi karena masyarakat tetap berada di rumah.
Perusahaan mulai menghadapi tantangan setelah epidemi mereda.
Bursa Efek New York juga menyatakan Tupperware terancam delisting karena terlambat menyampaikan laporan tahunannya.
Tupperware mengatakan awal pekan ini bahwa mereka berada di bawah tekanan dari biaya bunga yang lebih tinggi serta tantangan dari kondisi bisnis internal dan eksternal yang membatasi akses mereka terhadap uang tunai.
Merek wadah dapur memang mengalami penurunan penjualan dalam beberapa tahun terakhir.
Penjualan turun 18% menjadi sekitar $1,3 miliar pada tahun 2022 dibandingkan tahun 2021.
Perusahaan yang mendistribusikan produknya di lebih dari 70 negara ini dibangun di atas tenaga penjualan pelanggan setia yang menjual produk kepada teman dan kenalan, telah mencoba mendigitalkan bisnis penjualan langsungnya, namun belum membuahkan hasil yang diharapkan. .
(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)