TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pengacara anggota Organisasi Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) dan Gerakan Advokasi Kepulauan (Perekat) mengunjungi Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (27). ). /8/2024).
Mereka meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil Presiden Joko Widodo dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman terkait dugaan korupsi dalam pemeriksaan materi perkara 90. Mereka dimintai keterangan terkait tindak pidana konspirasi dan nepotisme. /PUU-XXI/2023, MK membacakan putusannya pada 16 Oktober 2023.
Diketahui, persidangan tersebut berujung pada pencalonan putra sulung Jokowi, Jibran Rakbuming Raka, sebagai calon wakil presiden pada pemilihan presiden (PilPress) 2024.
Terkait dengan putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) tanggal 7 November 2023 yang memberhentikan secara tidak hormat Anwar Usman dari jabatannya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi.
Anwar Usman diketahui merupakan adik ipar Presiden Joko Widodo.
“Kami mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dumas (Redaksi Unit Pengaduan Masyarakat) untuk menindaklanjuti laporan yang kami sampaikan terkait dugaan tindak pidana Presiden Joko Widodo dan Anwar Usman dalam paragraf panjang,” kata Perekat Nusantara Petrus Selestinus, Koordinator TPDI dan Gedung SH. KPK Merah Putih, Selasa (27/8/2024) dikutip Kompas.TV.
Petrus didampingi pengurus TPDI dan Perekat Nusantara Erick S Paat, Robert Keytimu, Paulet JS Mokolensang, Ricky D Moningka, dan Davianus Hartoni Edy.
Mereka diterima Eko Marjono dan Dak Venska, Plt Deputi Dumas KPK Bidang Informasi dan Data.
Mereka mengajukan pengaduan terhadap Jokowi dan Anwar Usman pada 23 Oktober 2023.
Namun, 10 bulan telah berlalu dan belum ada kemajuan lebih lanjut atas pengaduan tersebut.
Secara terpisah, TPDI dan Perekat Nusantara telah mengajukan pengaduan baru terkait dugaan korupsi penerbitan izin usaha pertambangan nikel (IUP) usaha pertambangan nikel di provinsi Maluku Utara yang dikenal dengan blok Medan.
Dalam persidangan baru-baru ini di Pengadilan Tipikor Pengadilan Negeri (PN) Ternate dalam kasus korupsi yang melibatkan terdakwa Gubernur Maluku Utara Abdul Ghani Kasuba (AGK) (SAT) terungkap kebenarannya.
Dalam persidangan tersebut, disebutkan nama Wali Kota Medan dan Sumut Bobi Nasution serta istrinya Kahiang Ayew yang juga putri Presiden Joko Widodo.
Pengaduan baru ini pun mereka sampaikan ke Dumas KPK.
Karena adanya korupsi halus, nama-nama yang terungkap dalam persidangan adalah nama pejabat dan pihak terkait yang memiliki fungsi strategis atau condong ke Klan, seperti Abdul Ghani Kasuba, Bobby Nasution, dan Ka Shion Ayew. “Terjadi atau tidaknya peristiwa pidana korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi perlu membuka penyidikan baru,” jelas Petrus.
Menurut Petras, dalam upaya banding terhadap Putusan MK Nomor 90 Tahun 2023 tanggal 23 Oktober 2023, pihaknya menghadirkan 17 nama untuk diperiksa sebagai saksi.
Mereka antara lain Presiden Joko, Hakim MK Anwar Usman, Gibran Raqabmin Raqqa, putra bungsu Presiden Joko Kaysan Pangarep, Mensesneg Praticno, 9 Hakim Konstitusi dan lain-lain.
Selain itu, lanjut Petrus, beberapa nama lain juga telah diajukan sebagai saksi bagi pihaknya, seperti mantan Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie, Bintan R Saragih, dan Wahiduddin Adam yang semuanya merupakan anggota MKMK, serta beberapa saksi ahli seperti Bivitri Susanti. “Komisi Pemberantasan Korupsi harus segera mengusut mereka,” tuntutnya.
Petrus meminta KPK memanggil Abdul Gani Kasuba, Bobby Nasution dan istrinya Kahiyang Ayu, Kepala Dinas ESDM Malut Suryanto Andili, Jaksa KPK Andi Lesmana atas aduan barunya terkait pemberian IUP Nikel Blok Medan. Bahlil Lahadalia, Direktur Hilirisasi Mineral dan Batubara Dorman Kementerian ESDM, mantan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral saat ini.
Sementara itu, Petrus mengaku KPK melakukan penyelidikan setelah menerima aduan dari pihak lain, namun KPK tidak menemukan adanya peristiwa pidana terkait pengaduannya.
Untuk itu, Petrus mengatakan dalam Putusan MK 90/2023, Komisi Pemberantasan Korupsi masih membutuhkan lebih banyak data mengenai dugaan peristiwa pidana dan aduan nepotisme.