Seperti dilansir reporter Tribunnews.com Ashri Fadilla
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kejaksaan Agung mengumumkan kerugian dugaan korupsi Proyek Kereta Api Besitang-Langsa di Balai Teknik Perkeretaapian Medan berjumlah lebih dari Rp 1,1 triliun.
Nilai kerugian negara tersebut merupakan hasil perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Berdasarkan laporan pemeriksaan kerugian negara yang dilakukan BPKP, total kerugian negara sebesar Rp1.157.087.853.322 atau satu triliun seratus lima puluh tujuh miliar delapan ratus lima puluh tiga ribu tiga ratus dua puluh dua rupee. Hal itu diungkapkan Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar dalam keterangannya, Selasa (7/2024).
Kerugian negara antara lain: Dari Negara sebesar Rp7.901.437.095 untuk pekerjaan inspeksi desain pembangunan jalur kereta api Sigli-Bireuen – dan Kuta Blang – Lhoksumawe – Langsa Besitang tahun anggaran 2015. Kerugian negara sebesar Rp1.118.586.583.905 untuk pekerjaan inspeksi desain negara pada konstruksi tersebut. jalur kereta api Besitang-Langsa; Dan Rp.
Dalam upaya menutup kerugian negara, Kejaksaan Agung menyita harta benda para tersangka.
Properti tersebut sejauh ini meliputi 36 tanah dan bangunan seluas 1,6 hektar yang tersebar di Aceh, Medan, Jakarta, dan Bogor.
Tanah dan bangunan tersebut milik ketujuh tersangka dalam kasus ini.
“Harta yang disita penyidik antara lain 36 tanah dan bangunan milik tujuh tersangka yang akan digunakan untuk pembuktian hasil tindak pidana dan pemulihan kerugian negara,” kata Harli.
Ketujuh tersangka yang ditetapkan Jaksa Agung dalam kasus ini merupakan pejabat pemerintah dan perorangan.
Dari gubernur, ada mantan Kepala Balai Teknik Perkeretaapian Medan di bawah Kementerian Perhubungan (Kemenhub), mantan Direktur ASP dan NSS Balai Teknik Perkeretaapian Medan.
Mereka juga sama-sama merupakan pengguna anggaran (KPA) yang berwenang dalam renstra nasional tersebut.
Lalu ada mantan Ketua Tim Pengadaan Konstruksi (Pokja), RMY.
Sementara dari pihak swasta, tim penyidik bernama Konsultan Perencanaan, AG dan pemilik PT Tiga Putra Mandiri Jaya disingkat FG sebagai tersangka.
Dalam kasus ini, para tersangka membagi proyek menjadi jumlah yang lebih kecil sehingga proyek tersebut tidak mengikuti mekanisme tender.
Sesuai ketentuan Perpres Nomor 16 Tahun 2018, proyek yang bisa langsung dilelang menelan biaya lebih dari Rp 200 juta.
“Kami sengaja membagi proyek menjadi beberapa tahap agar pengadaan untuk tender dan identifikasi peserta lelang dapat terarah dan terkendali.”
Selain itu, mereka biasanya mengabaikan studi kelayakan.
Atas perbuatannya, tersangka dijerat Pasal 2 ayat 1 dan 3, serta Pasal 18 UU Tipikor, serta Pasal 54 ayat 11 KUHP.