TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ratusan orang memulai aksi di depan Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta pada Kamis (22 Agustus 2024).
Sejumlah akademisi, ilmuwan politik, pakar hukum tata negara, dan 98 aktivis hadir bersama para mahasiswa tersebut.
Kehadiran mereka tak lepas dari tingginya tensi politik saat ini terkait putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60 dan revisi Undang-Undang (RUU) Pilkada DPR RI yang menjadi persoalan konstitusional. Turut hadir Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto, dan Ikrar Nusa Bakti.
Ray Rangkuti, Yunarto Wijaya dan Ubeidillah Badrun juga hadir.
Para pengunjuk rasa menilai apa yang terjadi sebagai pelanggaran demokrasi dan pelanggaran konstitusi.
Para pengunjuk rasa juga melihat beberapa spanduk berukuran sedang.
Diantaranya adalah tulisan “Indonesia krisis konstitusi dan demokrasi”, “Anggota DPR menolak konstitusi” dan “Demokrasi berada pada titik terendah”.
Para pengunjuk rasa saling bertukar orasi yang menyinggung kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di akhir masa jabatannya.
Pidato tersebut disambut teriakan para penentang Jokowi.
Juru Bicara Aksi Akademik dan Mahasiswa Alif Ilman menyebut konstitusi Indonesia telah dilanggar.
Penjarahan dipandang sebagai kekuatan oligarki dalam pemerintahan Indonesia.
Penjarahan dipandang sebagai kekuatan oligarki dalam pemerintahan Indonesia.
Dia menegaskan, angka-angka itu berasal dari MK, bahwa Presiden dan DPR tidak diragukan lagi telah meretas demokrasi.
Alif mengatakan, persidangan di Mahkamah Konstitusi harus menegaskan bahwa tindakan yang dilakukan Jokowi bertentangan dengan dirinya.
Badan legislatif DPR RI (Baleg) pada Rabu (22/08/2024) menggelar rapat usai Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan nomor 60/PUU-XXII/2024 yang menaikkan ambang batas pencalonan kepala daerah. .
Dalam sehari, agenda rapat pembahasan revisi UU Pilkada yang sempat mangkrak langsung dipercepat dan berujung pada keputusan kontroversial.
Keputusan pertama menyangkut kondisi batasan usia. Baleg DPR sepakat menggunakan putusan Mahkamah Agung (MA).
Oleh karena itu, usia minimal 30 tahun bagi Gubernur-Wakil Gubernur dan usia minimal 25 tahun bagi calon Bupati-Wakil Bupati atau Walikota-Wakil Walikota pada saat dilantik, bukan pada saat pendaftaran.
Keputusan kedua mengacu pada permohonan penetapan calon yang memiliki kursi di DPR RI dan partai di luar parlemen.
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menurunkan ambang batas pengangkatan kepala daerah.
Awalnya, ambang batas pencalonan didukung oleh minimal 20 persen partai politik yang berbasis di DPRD.
Kemudian putusan Mahkamah Konstitusi menjadi sensus dukungan terhadap suatu partai politik, dengan perolehan suara antara 6,5 - 10 persen dari total suara sah.
Persentase tersebut disesuaikan dengan jumlah daftar pemilih tetap (DPT) di masing-masing daerah.
Namun Baleg menganulir putusan MK tersebut dengan merumuskan ambang batas 6,5 hingga 10 persen suara sah, yang hanya berlaku bagi partai politik yang tidak memiliki kursi non-perwakilan di DPRD (*).