TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pembagian status bandara domestik dan internasional bertujuan untuk menjaga kemerdekaan Indonesia. Sekaligus merevitalisasi kawasan sekitar. Akibat perkembangan wilayah dan kegiatan usaha akibat lalu lintas bandara, inilah nilai ekonomi dari bandara.
Pengawas Perhubungan Bambang Haryo Soekartono (BHS) menjelaskan berdasarkan asas cabotage, keberadaan bandara internasional akan menjadi bandara pusat (utama) yang akan didukung oleh bandara (pendukung) dan transportasi darat lainnya.
Mengapa hal ini penting dilakukan, karena untuk memastikan pihak asing tidak bisa sembarangan masuk ke wilayah Indonesia. Mereka hanya bisa masuk melalui bandara-bandara besar dan menjangkau daerah-daerah kecil harus menggunakan angkutan dalam negeri. kata BHS saat dihubungi, Rabu (1/5/2024).
Dia menegaskan, penentuan kondisi bandara ini tentu memerlukan kajian yang detail. Sebab dalam pengembangan bandara yang perlu diperhatikan bukanlah untung atau ruginya bandara, melainkan dampak bandara terhadap wilayah sekitar dan pendapatan pemerintah.
“Contohnya Changi (red: Singapore International Airport) itu bandara transit. Tapi lihat bagaimana pemerintah Singapura mampu menjadikan Changi sebagai etalase negaranya. Akhirnya turis asing pun datang ke Singapura. Berpikirlah seperti Provinsi Aceh dapat menjadi etalase bagi Indonesia dan menjadi bandara internasional karena posisinya yang strategis bersaing dengan bandara-bandara di Singapura, Malaysia, dan Thailand,” ujarnya.
Contoh lainnya adalah bandara Charles de Gaulle di Perancis yang telah menjadi bandara internasional. Dengan demikian, Perancis menjadi negara dengan wisatawan terbanyak di dunia, mencapai 250 juta wisatawan dalam setahun. Ini merupakan hal yang sangat aneh bagi saya. komentarnya, dan bandara bisa menjadi platform periklanan bagi negara. Sayang sekali Indonesia tidak bisa seperti itu.
Beliau menekankan agar pemerintah Indonesia tidak memanfaatkan bandara kita untuk mencari keuntungan (Provit Oriented), karena keuntungan yang dikejar merupakan dampak dari pembangunan bandara tersebut dan maskapai penerbangan yang ada dapat mempengaruhi perkembangan perekonomian di wilayah tersebut. misalnya menunjukkan investasi, perdagangan, kegiatan usaha dll. Wisatawan yang datang ke tempat wisata bisa melewati bandara.
“Uang yang masuk itulah yang dimonitor untuk membawa manfaat bagi negara kita, bukan manfaat yang dipantau pihak bandara. “Lihat saja Malaysia, Jepang dan Amerika, bandara dan maskapai nasionalnya rugi besar, tapi negaranya untung besar,” kata BHS.
Oleh karena itu, politikus Gerindra ini menegaskan, pemerintah harus benar-benar mengkaji situasi bandara internasional sesuai dengan kapasitas yang ada di daerah tersebut, apakah internasional atau tidak, tidak hanya mempertimbangkan lalu lintas saat ini.
“Kalau memang mempunyai potensi di tingkat internasional seperti Aceh, jangan matikan potensinya, karena Aceh mempunyai potensi sumber daya alam (SDM), gas, minyak, emas, batu bara dan lain-lain yang ada di tingkat internasional. dan tersebar luas. . digunakan oleh negara lain seperti Jepang, Korea dan lain-lain,” kata lulusan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya ini.
Terdapat juga kemungkinan perkebunan besar kakao, kopi, kelapa sawit, pala, lada dan nilam (komoditas terbesar di Indonesia) dengan ukuran ekspor dan skala internasional. sebagian besar masyarakatnya adalah umat Islam yang sangat taat dan cenderung pergi ke Arab Saudi (Mekkah) untuk menunaikan ibadah haji dan umrah.
“Saya berharap pemerintah dapat melakukan penghapusan bandara internasional Aceh. Dengan pengurangan bandara internasional dari 34 menjadi 17, saya sangat setuju karena akan meningkatkan peran maskapai penerbangan domestik di koridor domestik menjadi lebih besar perannya sehingga uang kiriman tidak sampai ke negara lain karena Indonesia menganut “prinsip cabotage. Dengan mengurangi jumlah bandara internasional maka keamanan negara akan lebih baik dari barang/orang ilegal,” tutupnya.