Wartawan Tribunnews.com Eko Sutriyanto melaporkan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, harus menyikapi pesatnya perkembangan teknologi informasi di Republik Rakyat Tiongkok (RRT) secara bijak.
Meskipun Tiongkok mungkin menawarkan peluang untuk memperkuat kemampuan digitalnya, Tiongkok tetap menjadi ancaman dunia maya bagi negara-negara lain, termasuk negara-negara tetangganya di Asia Timur.
Demikian rangkuman diskusi “China dan Keamanan Siber di Asia Tenggara: Peluang dan Tantangan bagi Indonesia” yang diselenggarakan bersama oleh Komite Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta (BEM FIS UNJ) dengan mahasiswa Indonesia. Forum Sinologi (FSI), Jakarta, 22 April 2022.
Diskusi dimoderatori oleh Presiden BEM FIS UNJ, Ibra Fabian Dwinata, dan dihadiri oleh Dr. Ali Abdullah Wibisono, Dosen Hubungan Internasional Universitas Indonesia dan Presiden FSI, serta Dosen Magister Ilmu Komunikasi Pelita Universitas Harapan. UPH), Johannes Herlijanto, PhD.
Wibisono menunjukkan Tiongkok semakin mengandalkan kekuatan digitalnya di era saat ini.
“Tiongkok melakukan operasi siber untuk meretas data dari negara-negara Barat,” katanya.
Wibisono juga menjelaskan mengapa Tiongkok menganggap perang siber seperti itu perlu dilakukan.
“Tiongkok memperkuat kekuatan digitalnya sebagai respons terhadap intrusi Barat ke dalam sistem Tiongkok.
“Informasi yang dirilis oleh Edward Snowden pada tahun 2013 menimbulkan kekhawatiran di pemerintah Tiongkok tentang potensi ancaman terhadap Amerika Serikat,” katanya.
Meskipun sasaran utama serangan siber Tiongkok adalah negara-negara Barat, Wibisono mengakui bahwa di masa lalu Tiongkok telah melakukan intrusi siber terhadap negara-negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), terutama ketika para pejabat dari negara-negara tersebut mengadakan pertemuan mengenai hal tersebut. ini masalahnya. Laut Timur (SCS).
Namun menurut Wibisono, China akan menghormati aturan main yang diterapkan pemerintah negara tetangga, termasuk Indonesia.
“Bisa saja China akan mencoba menginvasi Indonesia, namun jika pemerintah kita jelas-jelas menyatakan penolakannya, kemungkinan besar China akan menghormati dan menghentikan upaya tersebut,” ujarnya.
Ia meminta otoritas terkait bertindak tegas terhadap segala ancaman dunia maya, baik dari Tiongkok maupun dari negara lain.
“Indonesia tidak bisa mengandalkan norma siber global yang tidak secara spesifik melarang serangan siber yang dilakukan suatu negara terhadap negara lain,” tegas Ali. Mencegah dan memulihkan serangan siber adalah tanggung jawab setiap negara.”
Presiden FSI Johanes Herlijanto juga mengatakan Indonesia harus terus memantau perkembangan teknologi digital di China.
Bagi Johanes, kemajuan teknologi ini berkaitan erat dengan komitmen Tiongkok untuk mengembangkan apa yang disebut Presiden Xi Jinping sebagai “kekuatan baru produksi berkualitas.”
Merujuk pada pernyataan seorang sarjana Tiongkok, Johanes menjelaskan bahwa “kekuatan produktif berkualitas baru” mengacu pada produktivitas yang ditingkatkan melalui terobosan teknologi revolusioner, inovasi terdistribusi yang menciptakan faktor-faktor produksi, serta inovasi dan transformasi industri yang mendalam.
“Ungkapan ini menjadi dasar pengumuman Perdana Menteri Li Qiang pada Maret 2024 bahwa Tiongkok akan berupaya memperkuat kemandirian ilmu pengetahuan dan teknologi (sains dan teknologi),” ujarnya.
Johanes memperkirakan keterlibatan di atas akan mendorong Tiongkok untuk lebih mengembangkan kemampuan teknologinya, termasuk teknologi informasi.
Melalui platform yang disebut “Digital Silk Road”, Tiongkok juga tertarik dengan pembangunan infrastruktur digital negara lain, termasuk Indonesia.
Menurutnya, hal ini merupakan peluang sekaligus ancaman bagi Indonesia.
“Platform media sosial Tiongkok dicurigai melakukan pengumpulan data baik di negara-negara Barat maupun di Indonesia. Begitu pula dengan peretas Tiongkok yang diduga melakukan serangan siber tidak hanya di negara-negara Barat, tapi juga terhadap sasaran di Asia Tenggara, ujarnya.
Mempertimbangkan keraguan di atas, penting bagi otoritas kompeten Indonesia untuk berhati-hati dan waspada jika ingin bekerja sama dengan Tiongkok dalam pengembangan infrastruktur digital.
Selain isu peretasan, pembahasan di atas juga mencakup kekhawatiran dunia saat ini mengenai penggunaan dunia maya oleh Tiongkok untuk tujuan propaganda guna meningkatkan pengaruh Tiongkok di negara-negara sasaran.
Pemanfaatan tersebut antara lain terlihat dalam berbagai video mengagung-agungkan Tiongkok yang beredar di media sosial tanpa sikap kritis.