Laporan reporter Tribunnews.com, Ismoyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Eric Tohir mendorong perusahaan pelat merah mengoptimalkan pembelian dolar AS secara wajar, hati-hati dan sesuai prioritas dalam memenuhi kebutuhan kegiatan operasionalnya.
Saat ini, depresiasi rupee terhadap dolar AS masih lemah akibat sulitnya inflasi AS dan harga minyak dunia yang mencapai level sangat tinggi akibat meningkatnya perang antara Israel dan Iran.
Hal ini mendorong banyak bank sentral di seluruh dunia menunda pemotongan suku bunga acuan.
Akibatnya terjadi arus keluar modal dari negara-negara berkembang dan hal ini menyebabkan imbal hasil obligasi meningkat, suku bunga di pasar pendanaan meningkat dan pada akhirnya kredit. Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah saat ini sebesar 6,98 persen.
Erik mengatakan, BUMN yang terkena dampak impor bahan baku dan BUMN yang porsi utang luar negerinya besar (dalam dolar AS), Pertamina, PLN, BUMN farmasi, dan BUMN pertambangan, sebaiknya membeli dolar secara wajar, bijak, dan sesuai. pada prioritas dalam memenuhi kebutuhannya.
Arahan saya ke BUMN adalah mengoptimalkan pembelian dalam dolar, artinya scalable dan sesuai dengan kebutuhan, bukan pembelian, kata Eric dalam keterangannya, Jumat (19/4/2024).
“Tidak berlebihan, kita harus pintar menyikapi kenaikan dolar saat ini,” lanjutnya.
Eric menambahkan, hal ini juga sejalan dengan apa yang disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlanga Hartarto dan Wakil Menteri Keuangan Suhasil Nazara dalam menilai dampak lebih lanjut dari krisis geopolitik dan ekonomi global.
Kecuali jika pemerintah ingin membatasi impor konsumen dalam situasi saat ini, pemerintah sudah memiliki alat berupa pendapatan devisa dari ekspor yang ingin dipasarkan di dalam negeri.
Untuk itu pengendalian belanja dan impor BUMN menjadi prioritas dan harus memenuhi kebutuhan yang paling mendesak, tutup Eric.