Kurang Bidan, Warga Ujung Aceh Arungi Laut untuk Melahirkan

Pulo Breueh dan Pulo Nasi di Kabupaten Aceh Besar merupakan pulau terluar di wilayah barat Aceh. Bentuk transportasi utama melintasi pulau ini adalah perahu nelayan kayu yang berdurasi dua jam, yang kini memiliki feri empat kali seminggu ke Pulo Nasi.

Di Pulo Breueh terdapat Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) yang melayani 17 desa di kedua pulau tersebut. Masyarakat yang hendak melahirkan kerap mengeluhkan banyaknya tenaga medis, terutama bidan, karena hanya empat orang.

Mahlini, warga berusia 33 tahun, menceritakan kisahnya saat hendak melahirkan anak ketiga, ia dibawa ke perahu nelayan di depan ambulans di tengah laut.

“Cuaca yang tidak biasa, hujan lebat, dan ombak setinggi 4 meter sepertinya menelan perahu kami dan dia akan melahirkan anak ketiganya.

Datang dan daftar untuk buletin Rabu gratis. Isi ulang informasi Anda selama seminggu untuk topik percakapan yang lebih menarik!

Mahlini mengatakan, dirinya bukan satu-satunya warga Aceh yang dilarikan ke IGD karena hendak melahirkan di tengah ombak yang mendekat. Melahirkan.

Sementara itu, Nilati, yang sedang hamil dua puluh delapan tahun, berharap setiap desa memiliki bidan desa yang dapat membantu ibu hamil untuk mengajari mereka cara dan cara mendidik anak yang benar. .

“Sekarang saya sedang mengandung anak kedua, saat melahirkan anak pertama saya harus ke Banda Aceh untuk diperiksa dengan perahu hingga saya melahirkan. Bahkan sekarang pun demikian. Harusnya ada lebih banyak bidan di Pulo untuk membantu ibu hamil,” kata Nilawati kepada DW Indonesia.

Dikatakannya, saat ini di Desa Pu Lao, hanya ada empat bidan dari 12 desa. “Pemerintah harus menambah jumlah bidan dan tenaga medis, karena di kepulauan ini jarak antar desa bisa mencapai satu jam.”

“Saya melihat tetangga saya dikirim dengan perahu kayu saat hendak melahirkan, tapi saya takut. Banda Aceh, kata Nilawati. . Bidan yang tersisa “tidak dapat ditoleransi”

Di antara bidan yang memilih tinggal di daerah terpencil adalah Tri Afrinavati, 40 tahun, dan Salamiya, 40 tahun. Mereka bertugas di wilayah luar Ake selama 17 tahun. Meskipun mereka berasal dari Provinsi Aceh, mereka enggan untuk mengatur pemindahan ke puskesmas bawah tanah karena mereka tidak mampu meninggalkan ibu-ibu hamil tersebut.

Sebelum kehadiran dua orang bidan, proses persalinan warga Pulo Aceh dibantu oleh seorang Ma’ Blien (bidan). Permen karet jenis ini telah dilarang oleh pemerintah karena tingginya angka kematian ibu dan anak akibat pengobatan yang tidak tepat.

Bidan Tri Afrinawati mengatakan, 17 tahun terasa singkat karena adanya informasi baru di daerah tersebut. “Setiap melahirkan, rasanya mendapat pengalaman baru dan ilmu baru,” ujarnya.

Pulo Breueh Yang ada hanya bidan, jika saya abaikan pergerakan di muka bumi, apa jadinya ibu? Siapa yang akan pergi bersama mereka? Cobalah untuk berbicara.

Ia mengaku mengalami berbagai suka dan duka selama bekerja. “Di tengah malam, saya mendapat telepon bahwa ayah saya telah meninggal. Saya segera menyewa perahu seharga tiga juta untuk berangkat ke Banda Aceh, kemudian saya menempuh perjalanan delapan jam ke rumah mereka, tempat orang tua saya dimakamkan. .” Kata Zama mengenang penderitaannya saat bekerja sebagai bidan.

Meski demikian, Tri berencana tetap menjadi relawan di Puskesmas Pulo Aceh hingga pensiun.

Hal serupa juga diungkapkan oleh Bidan Salamiah, meski beberapa kali ia hampir meninggal di laut saat mengangkut pasien. Ia juga berencana pensiun di Pulo Aceh karena alasan kemanusiaan dan ketenangan yang didapatnya selama bertugas.

“Saat itu mendesak, pasien hendak melahirkan anak ketiga dan mengalami keguguran. Kami berada di perahu kecil, tinggi ombaknya 4 meter. “Di atas kapal saya menangis tanpa sadar dan meminta kapal berhenti, tetapi kapten mengatakan kami tidak bisa berhenti karena bisa saja terbalik.

Bidan mengatakan fasilitas tersebut memiliki tiga kamar, dua ruang perawatan bocor dan satu ruang bersalin tidak layak. Sudah berkali-kali diusulkan untuk memperbaikinya, namun sejauh ini belum diperbaiki.

“Bisa dibilang kamar ini sudah tidak siap pakai dan sudah beberapa kali saya minta diperbaiki, tapi sampai sekarang belum diperbaiki,” seru Mia saat memikirkan tempat yang tepat untuk ibunya melahirkan. . Pembahasan penambahan tenaga medis

Data dari website Profil Kesehatan menunjukkan setiap tahunnya terjadi sekitar 6.000 kelahiran di Kabupaten Aceh Besar, dan angka kematian bayi mencapai 50.

Menanggapi kekurangan bidan di Desa Pulo Aceh, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Besar Anita mengatakan pihaknya akan menambah bidan dan tenaga medis lainnya.

Anita, Kepala Dinas Kesehatan Aceh Besar, mengatakan, “Ada 16 tenaga kerja pertama yang akan segera dikirim ke Pulo Aceh untuk mengatasi kekurangan bidan dan tenaga medis lainnya.”

Anita berharap suplemen ini dapat membantu Anda selama tinggal di Pulo Aceh dengan sistem persalinan dan prosedur medis lainnya.

“Kami berharap dapat membantu warga yang membutuhkan, kami jamin tenaga medis siap siaga 24 jam,” kata Anita. (A)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *