TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Matahari terik di Jalan KS Tubon, Tanah Abang, Batavia Tengah pada Rabu (9/11) siang sekitar pukul 12.36 WIB.
Lalu lintas di jalan tersebut tampak mengalir di kedua sisi jalan yang ramai, baik menuju Pasar Tanah Abang maupun menuju Petambauran.
Sore harinya, di depan Museum CNN, banyak orang terlihat antre panjang di pinggir jalan.
Di tangannya ada tumpukan obat-obatan yang dibungkus plastik.
Obat yang mereka jual adalah Tramadol, yaitu obat ampuh yang tidak bisa diminum tanpa resep dokter.
Para pedagang, baik perempuan maupun laki-laki, menawarkan obat-obatan kepada siapa saja yang melintas di trotoar jembatan tersebut.
Ada yang berdiri dan ada yang duduk di kursi kecil.
Pantauan Tribunewi di sepanjang Jalan KS Tubon, Jalan Kebon Jati, Jalan Jimbatan Tinggi, dan Jalan KS Tubon menuju belakang Petamburan, terlihat penjual Tramadol leluasa dan terang-terangan menjual Tramadol di kedua sisi jalan.
Namun, meski sudah memiliki Tramadol, penjual juga terlihat selektif dalam memilih pelanggannya.
Tribunnews yang siang harinya hanya mengenakan kaus oblong, celana pendek, dan sandal hanya sekedar mengamati saja, tanpa menawarkan obat keras secara langsung.
Setelah berjalan sekitar lima menit, Tribunnews berhenti di sebuah toko kelontong dengan menggunakan gerobak pinggir jalan.
Tak lama kemudian, seorang wanita yang mengenakan kemeja lengan sedang dan celana bulu duduk di sebuah kios pasar.
Wanita itu terlihat Rs.
Hakim kemudian mencari rambut sang ibu dengan berpura-pura meminta obat.
Benar saja, seorang wanita paruh baya juga menjual Tramadol yang disebutnya “Madol”.
“Obat apa? Oh Madol, aku di sini, kamu mau berapa?” Sang ibu bertanya sambil mengambil obat dari tas kecil.
Sambil merokok, wanita tersebut menjual obat keras seharga Rp30.000 per batang.
Dia memberi saya obat dan mengatakan obat ini aman.
“Apakah mereka aman di sini, Bu?” tanya Tribun Berita.
Ibunya menjawab: “Aman, aman. Tenang saja, di sini aman. Kamu bahkan bisa minum di sini, pakai air saja.”
Sekitar 10 menit kemudian, penjual tersebut berbincang dengan teman profesionalnya tentang masalah penjualan Tramadol.
Transaksi tramadol sangat cepat.
Hal ini juga terlihat dari pembeli lain yang memblokir sepeda motornya hanya pada saat mereka mengambil barangnya, dan pergi seolah-olah mereka sudah membeli sebelumnya.
Keluarga Tribune kemudian berusaha mencari penjual lain, hingga bertemu dengan seorang pria yang sedang berjualan pakaian.
Usai meminta izin beristirahat di bangku panjang samping kiosnya, Tribunnews kembali bertanya kepada pria tersebut tentang Tramadol.
Sekali lagi benar, pria berusia 58 tahun itu juga tampaknya menjual obat kuat Tramadol secara gratis.
Bapaknya bilang: “Iya, saya jual juga. Ini (jual Tramadol) usaha sampingannya.”
Pria berwajah keriput ini menjual Tramadol dengan harga yang sama dengan penjual lainnya, yakni 30.000 rupiah per strip.
Namun, Anda akan merasa lega jika berhenti mengonsumsi Tramadol.
Suatu hari, pria tersebut mengaku mampu menyelesaikan puluhan kotak berisi lima dasi di setiap kotaknya.
Selain dressing individu, juga bisa dijual setengah dressing atau lima tablet mengandung Tramadol.
Kliennya berkisar dari pekerja institusi dan pedagang di toko Pasar Tanah Abang hingga pedagang kaki lima yang menggunakan kode nama lain yang dikenal sebagai “TM”.
“Bisa juga beli setengahnya, harganya Rp 15.000. Pengamen biasanya beli setengahnya dulu, sorenya punya uang untuk beli setengahnya lagi,” ujarnya.
Menurut pengakuannya, penjualan narkoba ilegal itu terjadi pada tahun lalu.
Ia mulai menjual obat-obatan keras karena membutuhkan uang tambahan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Pendapatan dari bisnis awal, menjual pakaian, tidak stabil.
Namun dua dari empat anak laki-laki tersebut kini kehilangan pekerjaan karena PHK.
Layaknya tenaga penjual profesional, pria berkaos dan bertopi ini memberikan informasi mengenai efek penggunaan Tramadol yang dapat meningkatkan stamina dan menenangkan pikiran.
Selain itu, pria tersebut mengaku bebas menjual narkoba dengan tujuan menghilangkan rasa sakit sedang hingga berat di kawasan Pasar Tanah Abang.
Penggerebekan yang dilakukan petugas keamanan biasanya dilakukan pada malam hari menjelang subuh.
Waktu tidak menentu. Banyak penjual hanya berdagang pada siang hari.
“Di sini mudah (menjual Tramadol), tapi polisi abaikan dan penyelundup lewat jalan itu. Iya, saya sudah dapat bagiannya (petugas keamanan),” ujarnya.
Selain di kawasan Pasar Tanah Abang, Tribunnews juga menelusuri penjualan Tramadol di Pasar Pramuka, Matraman, Batavia Timur.
Berbeda dengan Pasar Tanah Abang yang penjualannya terbuka, di Pasar Pramuka penjualan Tramadol lebih dilakukan secara hati-hati.
Saat mobil Tribunnews sedang terparkir tepat di samping pasar dan hendak memasuki kawasan Pasar Pramuka, tiba-tiba seorang pria kurus mendekat.
Pria yang mengenakan baju berwarna abu-abu kotor itu bertanya apakah Pramuka perlu datang ke pasar.
Kemudian tim Tribunnews menyatakan ingin membeli Tramadol. Seorang laki-laki dengan mata sedikit tertunduk akibat kelopak mata terkulai menanyakan harga barang yang ingin dibelinya.
“Tramadol (di Pasar Pramuka) tidak ada, kalau mau saya cari, tapi harganya Rp 200.000 per strip, mau?” Dia berkata.
Pria tersebut terkejut mendengar harga yang disebutkan, dan kemudian tim Tribunes menyetujui harga yang sesuai.
Namun kesepakatan itu gagal karena harga obat diturunkan menjadi 150.000 rupiah per strip.
Saat ia menggambarkan gaya bicaranya seolah-olah sedang mabuk, ia menjauh dari Tramadol, dan memperkenalkan zat narkotika kuat yang menurutnya mirip dengan Tramadol.
Nama obatnya Dexa
“Murah, namanya sachet saja tanpa kemasan gan, itu Dexa. Di dalamnya ada klip (obat plastik biru) yang isinya 10 tablet dan harganya 150.000 rupiah.” Dia berkata.
Dari penelitian di forum Pramuka, kami menemukan dua obat bernama Dexa, yaitu Dexamethasone untuk mengatasi infeksi pada kulit, persendian, paru-paru, dan organ lainnya, serta Alprazolam Dexa yang merupakan analgesik untuk gangguan kecemasan dan panik serta untuk pengobatan. Tipe Benzodiazepin.
Pria tersebut juga menjelaskan bahwa Dexa memiliki efek yang sama dengan Tramadol.
Pramuka mengatakan dalam forum tersebut, sebenarnya pembeli Dexa lebih memilih Tramadol.
Setelah melalui proses negosiasi yang alot, akhirnya tercapai kesepakatan harga Rp 80.000.
“Dia membeli kesehatan, Saudaraku,” pria itu bertanya dengan curiga, memastikan kami bukan polisi.
Lalu kami diminta menunggu di belakang mesin tiket yang tutup.
Saat menunggu, Tribunnews melihat lima pria lainnya mengunjungi pasar Pramuka yang sama.
Terkadang mereka keberatan dengan anjing itu. Setelah menunggu sekitar 10 menit, akhirnya orang pertama keluar dari dalam pasar dengan membawa dua kantong plastik terikat di ikat pinggang depannya yang berisi narkoba.
Transaksi tersembunyi juga dilakukan. Tangan pria itu terulur ke paha kirinya untuk memberikan obat agar tidak ada yang melihatnya.
“Dan yang ini juga,” kata pria itu.
Tribunnews kemudian buru-buru meninggalkan Pramuka Fourie saat beberapa rekan pria memperhatikannya. (penghormatan jaringan/budak/dudd)