Cerita Mandiri Energi Desa Mundu Klaten: Warga Kelola Limbah Kotoran Sapi, Lingkungan Sehat dan Asri

Laporan jurnalis Tribunnews.com Garudea Prabawati

TRIBUNNEWS.COM – Pada Sabtu (17/8/2024), cahaya lampu Petromax terlihat menerangi teras sebuah rumah di Desa Mundu, Kecamatan Tulung, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah (Jateng).

Beberapa petromaks lainnya juga bersinar redup di jalanan desa.

Sinar lampu tua menghangatkan suasana Desa Mundu, desa bersuhu dingin karena letaknya di lereng Gunung Merapi.

Pada saat yang sama, dari dalam rumah terdengar suara air dipanaskan di atas kompor dengan nyala api berwarna biru.

Tingkatkan suhu saat itu sebelum matahari terbenam.

Di balik hangatnya cahaya lampu Petromax dan nyala api biru kompor, rupanya ada cerita kreatif warga desa yang swasembada energi dengan mengolah kotoran sapi.

Kotoran sapi dikelola dan akhirnya diubah menjadi energi hijau yang disebut biogas.

Seorang warga Desa Mundu Pono (56) mengatakan, dirinya dan sebagian besar warga desa sudah terbiasa menghasilkan energi hijau dari kotoran hewan.

Upaya tersebut diperlukan untuk menjaga kesehatan lingkungan desa yang terletak di jantung Daerah Aliran Sungai (DAS) Pusur itu.

Karena sebagian besar penduduk Mundu berprofesi sebagai penggembala sapi, menjaga kondisi air tanah di kawasan ini menjadi hal yang penting.

Pono mengatakan, sebelum ada program biogas, masyarakat Desa Mundu dihadapkan pada permasalahan pembuangan kotoran sapi.

Seringkali kotoran sapi saat itu tidak banyak mengandung air, termasuk sungai sehingga menimbulkan bau yang tidak sedap, terutama di musim hujan.

Pono mengatakan, satu ekor sapi menghasilkan sekitar 15 kilogram kotoran per hari.

“Bayangkan setiap harinya membuang 15 kilogram kotoran sapi, lama kelamaan pasti akan menjadi masalah lingkungan,” kata Pono, 56, seorang peternak sapi kepada Tribunnews.com, 17/8/2024 Desa Mundu, Klaten, Jawa Tengah, yang memanfaatkan kotoran sapi untuk biogas, digunakan untuk kebutuhan sehari-hari termasuk memasak dan penerangan jalan.

Seringkali limbah ini menumpuk, karena sebelumnya hanya dapat digunakan sebagai pupuk tanaman.

Sebab, pembuangan kotoran sapi yang sembarangan dapat merusak kualitas lingkungan, air, dan lingkungan alam lainnya, tambah Pono.

Kini, sejauh mata memandang, kios-kios berdiri bercampur di pemukiman warga, dengan jumlah enam hingga sepuluh ekor sapi per kandang, namun bukan berarti lingkungan menjadi kotor dan bau.

Diakui Pono, program energi terbarukan hadir sebagai solusi, warga Desa Mundu bisa mendapatkan energi biogas setiap hari dan terhindar dari pencemaran lingkungan.

“Pemanfaatan energi hijau kotoran sapi dalam biogas memecahkan permasalahan lingkungan di Desa Mundu. Dampak langsungnya antara lain membuat kandang ternak menjadi bersih,” kata Pono. Bergantung pada energi, memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Upaya mandiri masyarakat desa Pono dan Mundu dimulai pada tahun 2013, diawali dengan pelatihan yang dilakukan oleh pabrik AQUA Klaten dan Balai Pengembangan Teknologi Perdesaan (RPTP) Surakarta.

Warga membentuk kelompok arisan biogas yang menjadi wadah berbagi informasi mengenai pengembangan Biogas di Mundu.

Melalui kelompok arisan ini, warga Desa Mundu terus membantu produksi biogas secara mandiri. Pabrik biogas di Desa Mundu, Klaten, Jawa Tengah. Penduduk desa memanfaatkan kotoran sapi untuk menghasilkan biogas. Biogas ini digunakan untuk menyalakan lampu jalan Petromax dan menyalakan kompor di dapur warga. (Dok BAT Surakarta) ((Dok BAT Surakarta))

Pelatihan tersebut tidak hanya memberikan materi tentang cara pemanfaatan limbah ternak dalam biogas, namun juga pelatihan proyek bagi warga dalam produksi bioreaktor biogas.

“Akhirnya kita bisa mandiri,” kata Pono.

Berawal dari program percontohan pengembangan gas alam, warga pun tertarik membangun pembangkit gas alam di rumahnya.

Pekerjaan pengembangan gas bumi ini juga membawa banyak manfaat bagi masyarakat Desa Pono dan Mundu.

Biogas dihubungkan melalui pipa-pipa yang disusun sedemikian rupa dan dihubungkan dengan kompor sehingga dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Ayah dua anak ini setiap sore mengumpulkan kotoran sapi saat membersihkan kandang, lalu menuangkannya ke dalam tabung khusus bernama bioreaktor dengan volume 6 meter kubik.

“Jadi kotoran sapi itu dicampur air, perbandingannya 1:1, dimasukkan ke dalam bioreaktor, proses penguraiannya akan menggunakan bakteri seperti metana, sehingga bakteri tersebut akan menguraikan bahan-bahan organik yang ada di dalamnya dan menghasilkan gas metana dan lainnya. gas,” Pono. katanya. .

Program ini juga menghasilkan tenaga ahli manufaktur bioreaktor baru dari kalangan masyarakat, salah satunya Pono.

Kini Pono telah membantu membangun reaktor biogas di desanya.

Desa Mundu kini memiliki total 80 reaktor biogas, sedangkan Padukuhan, tempat tinggal Pono, yang memiliki 5 RT, memiliki 40 reaktor biogas.

Ternyata, Pono ikut membantu pembangunan reaktor biogas tidak hanya di Desa Mundu, tapi juga di beberapa wilayah Indonesia.

Ia diboyong ke Langkata, Sumatera Utara (Sumut) karena Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal dan Imigrasi (Kemendesa) menugaskannya bekerja di proyek pengembangan gas alam di sana.

“Saya lakukan di Langkata, lalu Sulawesi sekitar 4 kabupaten yang juga sudah saya kembangkan (hewan ruminansia), belum lama ini di Demak, lalu Boyolali dan sekarang saya kerja di Yogonalan, Klaten,” kata Pono.

Kemungkinan produksi gas bumi, lanjut Pono, tidak harus di sentra peternakan sapi, bisa juga hewan ternak lain seperti babi.

Selain itu, Anda juga bisa memanfaatkan sisa produksi tahu.

“Di Indonesia banyak terdapat sentra produksi peternakan dan pangan yang sampahnya bisa diubah menjadi biogas. Artinya, semakin banyak sampah yang diubah menjadi energi hijau maka akan semakin banyak manfaatnya bagi alam dan manusia,” ujarnya. Energi hijau dari biogas berkontribusi terhadap kehidupan masyarakat desa Mundu. Warga Desa Mundu Klaten (Jawa Tengah) memanfaatkan gas kotoran sapi untuk kebutuhan sehari-hari, termasuk memasak. (Dok BAT Surakarta) ((Dok BAT Surakarta))

Energi gas hijau ini kini telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat pedesaan dan digunakan sebagai sumber energi utama.

Warga yang menghasilkan energi gas bumi tidak lagi bergantung pada LPG atau LPG sebagai sumber bahan bakar rumah.

Biogas tidak hanya digunakan untuk memasak, tetapi juga untuk lampu Petromax untuk penerangan jalan raya.

Bahkan warga, lanjut Pono, tidak lagi khawatir dengan harga atau kekurangan elpiji bersubsidi.

“Kami tidak lagi membeli elpiji, dulu kami membeli 3 sampai 4 tabung gas ukuran 3 kilogram (kg) per bulan untuk keperluan rumah tangga,” kata Pono.

“Dan sekarang sudah tidak saya pakai lagi, jadi bisa hemat Rp 60 ribu sampai Rp 80 ribu sebulan,” imbuhnya.

Tak hanya sisa limbah biogas yang tidak dibuang begitu saja, Pono memanfaatkan limbah biogas tersebut sebagai alternatif pengganti pupuk kandang.

Tanaman pangan yang hidup di rumah-rumah penduduk bisa tumbuh subur. Mengembangkan konsep pariwisata berbasis energi

Sementara itu, Ketua Kelompok Ternak Desa Mundu Teguh Sutikno, Kelompok Ternak Margo Mulyo menambahkan, program biogas di Desa Mundu merupakan hal yang positif bagi warga.

Ia mengatakan, program biogas di Desa Mundu sudah jauh berkembang dari sistem pengumpulan kotoran masyarakat yang digunakan untuk mengembangkan pengelolaan kotoran sapi karena biayanya yang masih mahal.

Pertemuan sosial dimulai dengan kelompok kecil yang terdiri dari lima hingga 10 orang.

“Saat itu, masing-masing anggota majelis kolektif bekerja sama membangun pembangkit biogas, dan masing-masing anggota menyumbang Rp500 ribu hingga Rp1 juta,” ujarnya.

Hingga saat ini Desa Mundu juga dikenal sebagai desa ekowisata, menjadi wadah bagi masyarakat umum untuk mempelajari konsep energi terbarukan dan pemanfaatannya secara sederhana dalam kehidupan sehari-hari.

“Desa Mundu dikenal tidak hanya sebagai desa penghasil susu dan makanan olahan susu, tapi juga sebagai desa bebas energi,” kata Teguh.

Pengembangan konsep wisata energi akan terus berlanjut di masa depan.

“Makanya kami membuka ruang bagi siapapun yang ingin belajar dan bekerja bersama kami,” pungkas Teguh. Pengurangan boiler biogas di Desa Mundu, Klaten, warga desa memanfaatkan kotoran sapi untuk menghasilkan biogas untuk penerangan jalan lampu Petromax dan kompor di dapur warga (Dok LPTP Surakarta) ((Dok LPTP Surakarta) ))

Kepala Pusat Penelitian Energi (PSE) Universitas Gadjah Mada (UGM), Deendarlianto menambahkan dampak lingkungan merupakan salah satu faktor penting yang dipertimbangkan dalam produksi energi hijau.

Penggunaan energi ramah lingkungan juga sejalan dengan upaya pemerintah dalam mengurangi emisi karbon.

Kembali ke perencanaan energi negara ke depan, Indonesia sudah mempunyai rencana besar, yaitu dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah mengumumkan bahwa transisi energi akan dilaksanakan pada tahun 2060 menuju net zero emisi ( NZE), maka pada tahun 2025 setidaknya kombinasi “Energi terbarukan dapat mencapai 23 persen pasokan energi nasional,” ujarnya kepada Tribunnews.com, Sabtu (17/8/2024).

Ia juga menjelaskan bahwa biogas merupakan energi alternatif yang bersumber dari gas metana dari kotoran ternak dan sampah organik yang membusuk (sisa makanan).

Dean mengatakan biogas merupakan energi alternatif yang ramah lingkungan.

Energi terbarukan ini mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan merupakan salah satu bentuk energi terbarukan yang murah, aman dan mudah diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. 

Pemanfaatan biogas sebagai energi alternatif juga akan mengurangi polusi udara secara signifikan, karena gas metana yang dihasilkan dari penguraian sisa makanan merupakan pencemar udara yang akan berdampak serius jika terus-menerus dihirup oleh manusia.

Daur ulang gas metana dari kotoran sapi menjadi biogas dapat mengurangi polusi udara, lanjut Dean.

Termasuk membangun kota berkelanjutan sehingga mengurangi efek rumah kaca akibat gas metana.

Dean juga menambahkan, potensi biogas di Indonesia sangat tinggi karena jumlah penduduk yang besar, termasuk keberadaan hewan ternak, seperti desa Mundu di Klaten.

Di antara jenis-jenis peternakan tersebut, sapi merupakan penghasil emisi gas rumah kaca terbesar, yaitu sebesar 14,5 persen dari total emisi gas rumah kaca dunia.

“Oleh karena itu, produksi biogas akan sepenuhnya mengimbangi karbon, menghemat pendapatan, sekaligus membantu memerangi perubahan iklim dan akses terhadap energi bersih,” tutup Dean.

(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *