TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Lima kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDP) ditangkap dan mengaku ditipu untuk memberikan tanda tangan yang digunakan untuk menantang keabsahan Surat Proklamasi (SK) untuk melanjutkan pemerintahan. DPIP DPP Tahun 2024-2025.
Kelima kader tersebut didekati oknum pengacara terkait dakwaan tersebut dan meminta maaf atas penipuan yang mereka lakukan.
PDP menduga ada pihak berwenang di balik hal ini.
Ia meminta media menanyakan hal tersebut kepada pihak Istana Mulgino.
Kronologi
Lima kader PDIP mengaku telah ditipu dan dimanipulasi untuk menandatangani keputusan PIP untuk memperpanjang masa pemerintahan PDP hingga 2024-2025 dengan menggunakan pengacara yang kuat untuk menantang keabsahannya.
Kelima kader yang diwakili juru bicaranya Jairi meminta maaf kepada Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri dan anggota PDIP se-Indonesia.
Hal itu disampaikan Jairi dalam jumpa pers di Sengkareng, Jakarta Barat, Rabu (11/9/2024) malam.
Ia didampingi keempat temannya yakni Jupri, Manto, Suyoko dan Suvari.
Dalam surat pengaduan yang dikirimkan ke Megawati, Jari mengaku terjebak.
Yairi menjelaskan, dirinya dan empat kader PDIP lainnya hanya diminta menandatangani di selembar kertas kosong lalu diberi hadiah sebesar Rp300.000.
Jairi menceritakan, dirinya bertemu dengan Angiat BM Manalu bersama keempat temannya dalam puasa untuk tim pemenangan.
Di sana mereka diminta mendukung demokrasi.
Karena setuju dengan demokrasi, Yari dan pihak lain siap memberikan dukungannya.
Ketika mereka diberi kertas putih kosong untuk ditandatangani, mereka setuju.
Mereka tidak tahu bahwa kertas putih kosong itu digunakan untuk perwakilan hukum.
Maka Yari dan keempat rekannya mengumumkan bahwa kasus tersebut dibatalkan.
Sesegera mungkin pergi ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan ajukan pencabutan surat kuasa ke pengadilan.
Ia mengatakan, pihaknya banyak belajar dari permasalahan ini.
Yari meminta pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab tidak memanfaatkan kepolosan masyarakat kecil seperti mereka.
Sementara itu, Politikus PDIP Guntur Romli memanggil lima kader PDIP untuk menandatangani Peraturan Kepengurusan DPP PDIP 2019-2024 dan diperpanjang hingga 2025 yang disebut Angiat BM Manalu.
Guntur Anjiat mengaku mencalonkan diri sebagai calon legislatif DPR melalui Partai Golkar pada pemilu 2019.
Berdasarkan tulisan salah satu media online Guntur, Angiat pernah menjadi calon legislatif di daerah pemilihan Sumut III yang meliputi Langakat, Binjai, Tanah Karo, Dairi, Pakkk, Bharat, Pematang Sintar, Simalungun, Batubara, Asahan, dan Tanjung. Balay.
Guntur menegaskan, dirinya akan mengambil langkah untuk melindungi Anjayat setelah menyalahgunakan tanda tangan lima kader PDIP untuk menggugat keputusan kepengurusan PDIP di Jakarta.
Namun, dia tidak merinci apa saja tindakan tersebut.
Dia mengatakan, pernyataan lima kader PDIP yang mengaku Guntur ditangkap Anjiat merupakan bukti pengaduan ke PTUN di Jakarta merupakan perintah dan rencana jahat.
TribuneNews.com menyusul Wakil Ketua Partai Golkar Ahmed Doli Kurnia dan Ketua DPP Partai Golkar Dev Laksono untuk memastikan Anjiat pernah menjadi calon DPR lewat Partai Beringin.
Namun mereka tidak memberikan tanggapan hingga berita ini tersiar.
Ultimatum Partai 5 Penipuan Kader Partai
Ronnie Talapesi, Ketua DPP PDP Reformasi Hukum Nasional, mewanti-wanti aparat di balik penangkapan kader tersebut agar menggugat PTUN dan tidak main-main.
Rony mengatakan, pihaknya menyayangkan kejadian tersebut.
Ia menegaskan, partainya tidak segan-segan melawan pihak-pihak yang menggunakan segala cara untuk melemahkan PDIP.
Hal tersebut disampaikan Ketua DPIP DPP Reformasi Sistem Hukum Nasional Rony Talapesi pada tahun 2024 hingga 2025 saat kelima kader PDIP meminta maaf setelah mengaku diliput kasus PDIP SC. Ronnie didampingi Ketua DPC PDIP Kalbar Love Zigurida.
Dengan kesetiaan 5 kader PDIP tersebut, DPP PIP pada akhirnya memberikan dukungan hukum.
PDIP juga akan mempertimbangkan kemungkinan mengambil tindakan hukum terhadap partai pengusung kader tersebut.
Soal siapa dalang penggagalan PDIP, Rony menduga ada pihak yang berkuasa.
“Iya kalau kita lihat ini, kita curigai itu ulah pemerintah ya.”
“Mungkin awak media harus bertanya pada pihak istana.” Coba tanyakan namanya Muljono ya?
“Mari kita bertanya, apakah memang ada peran di balik tuduhan ini?”
“Ya silakan, dan masyarakat bisa menilai, kan?” “Beberapa media memberitakan adanya penjarahan terhadap partai politik.
Sekadar informasi, nama Muljono sedang trending di akun media sosial X belakangan ini.
Nama ini digunakan untuk menyebut Joko Widodo (Jokowi).
Ternyata Muljono adalah panggilan akrab Jokowi.
Dalam bukunya Albertien Menuju Cahaya, Jokowi mengatakan bahwa orang tuanya, Wijiatno Notomiharjo dan Sujitami Notomiharjo, menamainya.(*)