Laporan jurnalis Tribunnews.com Geeta Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Direktur Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia PBNU (Lakpesdam), KH Ulil Abshar Abdallah angkat bicara soal kontroversi pemberian alat kontrasepsi kepada pelajar.
Ia ingin siswanya mendapat pendidikan yang baik tentang seks.
Meski demikian, ia mengatakan pendidikan tidak boleh mengarah pada hal buruk.
“Misalnya, pendidikan seks sebenarnya dipahami sebagai upaya untuk melegalkan atau membolehkan aktivitas seksual yang tidak halal dari sudut pandang agama. Ini tidak boleh,” kata Ulil di Kantor PBNU, Jakarta Pusat, Kamis (8/8/2024). . .
Ia mengatakan Islam tidak menolak pendidikan seks yang baik.
Bahkan, lanjutnya, pesantren menawarkan pendidikan seks dan buku-buku tentang topik tersebut.
“Tetapi ajaran agama melarang perzinahan, hubungan seksual di luar nikah, dan pendidikan seks tidak boleh mengarah pada hal tersebut,” ujarnya.
“Jadi jangan sampai persoalan ini membuat seks diperbolehkan padahal seks aman itu tidak halal. Itu yang tidak kami inginkan,” sambungnya.
Pernyataan Menteri Kesehatan
Diberitakan sebelumnya, Kementerian Kesehatan (Kemenkes RI) angkat bicara terkait kontroversi pemberian alat kontrasepsi pada remaja sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024.
Juru Bicara Kementerian Kesehatan RI Dr. Muhammad Zahri SP P dan MPH menegaskan, alat kontrasepsi yang dimaksud hanya diperuntukkan bagi remaja yang sudah menikah.
“Namun alat kontrasepsi ini tidak ditujukan untuk semua remaja, melainkan hanya diperuntukkan bagi remaja yang sudah menikah untuk menunda kehamilan ketika calon ibu belum siap karena masalah ekonomi atau kesehatan” di Jakarta (08/05/2024).
Ia mengatakan alat kontrasepsi hanya diberikan kepada remaja yang sudah menikah untuk menunda kehamilan hingga aman.
Hal ini juga menunjukkan bahwa pernikahan dini meningkatkan risiko kematian ibu dan anak.
Ia mengatakan, risiko melahirkan bayi dengan dwarfisme juga sangat tinggi.
Sesuai ketentuan PP tersebut, penerima utama layanan kontrasepsi adalah pasangan usia subur dan masyarakat usia subur yang berisiko.
Oleh karena itu, alat kontrasepsi tidak menyasar seluruh remaja, lanjutnya.
Dia menyatakan, masyarakat tidak boleh salah memahami penafsiran PP tersebut.
Apalagi, kata dia, rancangan peraturan Menteri Kesehatan tersebut akan diperjelas sebagai peraturan turunan dari PP tersebut.
Peraturan sekunder tersebut juga akan mengatur prinsip-prinsip penyelenggaraan pendidikan di bidang keluarga berencana bagi anak usia sekolah dan remaja, yang disesuaikan dengan tahap perkembangan dan usia anak.
Harap pertimbangkan kembali
Diberitakan sebelumnya, Kurniasih Mufidayati, Wakil Ketua Komite IX DPR RI dari Fraksi PKS, meminta pemerintah segera mengubah PP 28 Tahun 2024 yang mengatur tentang pemberian alat kontrasepsi kepada pelajar.
Bagian Pasal 103 4 Poin E menyebutkan bahwa pelayanan kesehatan reproduksi bagi remaja setidaknya mencakup beberapa komponen, salah satunya adalah kontrasepsi.
Ia mengatakan, PP sebagai peraturan undang-undang kesehatan menimbulkan interpretasi peraturan yang berbahaya.
Namun, menurutnya, Kementerian Kesehatan berpandangan bahwa ketentuan mengenai kontrasepsi berlaku bagi remaja yang sudah menikah, dan teknisnya akan diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan.
“Kalau masih harus menunggu peraturan Menteri Kesehatan, itu sama sekali tidak menyederhanakan peraturan. UU Kesehatan dibangun dengan sistem omnibus berkedok penyederhanaan regulasi, namun regulasi turunannya harus berbelit-belit dan birokratis,” imbuhnya. ujar Kurniasih dalam keterangannya, Rabu (8/7/2024).
“Kami sedang melakukan revisi di tingkat PP untuk menghindari penafsiran yang liar,” lanjutnya.
Salah satu penafsiran paling liar adalah membolehkan remaja melakukan hubungan seks di luar nikah dengan menggunakan alat kontrasepsi berkedok layanan kesehatan reproduksi.
“Data yang ada menunjukkan bahwa seks bebas di tingkat remaja menimbulkan kekhawatiran yang lebih besar dan dikaitkan dengan meningkatnya konsekuensi negatif,” katanya.
Mengutip data BKKBN, 60 persen penduduk usia 16-17 tahun melakukan hubungan seks, 20 persen penduduk berusia 14-15 tahun, dan 20 persen penduduk berusia 19-20 tahun.
Ia menyatakan, salah satu dampak negatif dari seks bebas adalah meningkatnya jumlah aborsi akibat kehamilan yang tidak diinginkan.
“Banyaknya hubungan seks bebas tentunya akan diikuti dengan ekses-ekses negatif seperti kasus aborsi dan meningkatnya penularan penyakit menular seksual. Kami membicarakannya dari sudut pandang kesehatan,” katanya.
“Jadi daripada menunggu kementerian mengatur peraturan turunannya, pemerintah akan langsung dan tegas merevisi pasal tentang kontrasepsi remaja secepatnya,” lanjutnya.