TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani peraturan tentang pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUPK) kepada badan usaha milik organisasi kemasyarakatan atau organisasi massa keagamaan.
Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Usaha di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara Keras.
Terkait permasalahan tersebut, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia memastikan akan segera menerbitkan izin usaha pertambangan (IUP) batubara kepada pengurus Nahdlatul Ulama (PBNU).
“Saya akan segera menandatangani perjanjian IUP pengalihan PBNU, karena prosesnya hampir selesai, saya jamin itu semua,” kata Bahlil, Minggu (6 Juni).
PP Nomor 25 Tahun 2024, khususnya Pasal. 34 disebutkan bahwa izin untuk melakukan kegiatan pertambangan dapat diberikan kepada PBNU dalam bentuk Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK).
Menurut pemerintah, izin pertambangan WIUPK dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui organisasi keagamaan akar rumput.
Terkait organisasi akar rumput PBNU, Bahlil mengatakan pemerintah berencana mengeluarkan konsesi pertambangan batu bara yang sumber dayanya cukup besar.
“Kami akan memberikan konsesi batubara kepada PBNU dengan cadangan yang cukup besar sehingga memungkinkan optimalisasi organisasi,” janji Bahlil.
“Apakah AU setuju atau tidak memberikan konsesi pertambangan? Apakah Anda setuju atau tidak? Jika seseorang tidak setuju, apa yang ingin Anda lakukan terhadap mereka?” – katanya lagi.
Sementara itu, Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar membantah aturan pemberian Wilayah Izin Pertambangan Khusus (WIUPK) kepada ormas keagamaan merupakan bentuk perdagangan kue.
“Tidak, tidak (berbagi kue), ayo kita lihat hal yang paling penting,” kata City.
Siti mengatakan, izin pengelolaan pertambangan diberikan mengingat setiap organisasi akar rumput mempunyai sayap tersendiri di bidang usaha.
Menurut dia, penerbitan izin pengelolaan pertambangan kepada ormas akan jauh lebih efektif dibandingkan mengajukan permohonan yang membutuhkan dana setiap saat.
“Pembahasannya didasarkan pada fakta bahwa ada sayap organisasi yang memungkinkan hal ini. Daripada ormas yang setiap hari mencari dan mengajukan usulan, lebih baik mempunyai sayap usaha yang rapi dan profesional,” ujarnya.
Lebih lanjut, Pemprov DKI menyatakan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mewajibkan negara memberikan ruang bagi warganya untuk produktif.
Penerbitan izin ini, kata Pemerintah Kota, merupakan salah satu cara untuk meningkatkan produktivitas masyarakat melalui pengorganisasian akar rumput.
“Oleh karena itu, areal produktivitas rakyat harus disediakan, apapun salurannya, agar masyarakat mendapat hutan rakyat. Misalnya, petugas yang tingkatannya sangat rendah, miskin karena efisiensinya harus diperhitungkan; itu adalah hukum negara yang harus diperhitungkan tergantung pada negaranya,” katanya.
Lebih lanjut Siti menjelaskan, selama ini sudah banyak pihak yang mengajukan usulan pemberdayaan hutan rakyat.
Ada pertunjukan dari berbagai kelompok agama.
Namun, dia tidak merinci lebih lanjut siapa saja organisasi masyarakat tersebut.
“Saya belum memeriksa mereka yang terlibat di bidang kehutanan. Saya rasa mereka tidak mengatakan hal itu kepada saya. Ada banyak hutan kemasyarakatan. Kelompoknya banyak macam-macam, termasuk beda agama, tidak masalah,” jelasnya. Siti:
Anggota Komisi VII DPR RI Fraksi PKS Mulyanto menyoroti aturan IUPK tentang industri pertambangan. Mulyanto khawatir pemberian prioritas IUPK dibandingkan organisasi keagamaan akan membuat tata kelola dunia pertambangan semakin kacau.
“Sekarang persoalan penambangan liar ibarat benang kusut, belum lagi adanya dugaan kehadiran pejabat tinggi yang menangani berbagai permasalahan, dan pembentukan kelompok kerja gabungan penambangan liar tidak diperlukan lagi. kemajuannya, semuanya masih pekerjaan rumah yang harus diselesaikan,” kata Mulyanto.
Mulyanto mencatat, Presiden belum menetapkan prioritas kebijakan pengelolaan mineral dan batubara.
Sebab, menurutnya, yang dibutuhkan saat ini adalah penguatan perangkat pengawasan pertambangan dan pengelolaan tambang, bukan penerbitan izin.
Artinya, pemerintah tidak serius dalam mengelola industri pertambangan dalam negeri. Pemerintah tetap menjadikan IUPK sebagai komoditas perjanjian politik dengan kelompok tertentu,” kata Mulyanto.
“Saya sudah membaca RUU PP Minerba perubahan yang baru ditandatangani presiden. Memang ada tertulis, prioritas IUPK diberikan kepada badan usaha yang tergabung dalam ormas keagamaan,” lanjutnya.
Mulyanto menjelaskan, IUPK lebih mengutamakan badan usaha dibandingkan organisasi keagamaan. Dari sisi regulasi dan administratif, hal ini tampaknya dibenarkan dan masih sejalan dengan UU Minerba.
“Namun secara politis, upaya tersebut memiliki motif yang sangat jelas untuk berbagi kue ekonomi,” ujarnya.
“Oleh karena itu, perlu dilakukan pemantauan yang cermat terhadap aktivitas entitas ekonomi. Apakah benar-benar profesional dalam mengelola RKAB pertambangannya dan kemudian berkontribusi terhadap peningkatan Penerimaan Keuangan Negara (PNBP)? Atau jangan-jangan itu hanya badan usaha abal-abal saja, ali-baba? perusahaan,” tutupnya. (Jaringan Tribun/fik/mam/kps/wly)