Biaya tidak resmi yang dibebankan kepada mahasiswa Program Anestesiologi (PPDS) Universitas Diponegoro dikatakan berkisar antara Rp 20 juta hingga Rp 40 juta per bulan, yang merupakan “kekerasan finansial atau pelecehan yang tidak bisa dianggap remeh”. menurut pengamat kesehatan.
Diah Saminarsih, pendiri dan CEO Central Center for Strategic Development Indonesia (CISDI), percaya bahwa pajak informal ini membuka peluang untuk berpuas diri, serta korupsi.
Juru Bicara Universitas Diponegoro (Undip), Sugeng Ibrahim mengatakan, pihaknya tidak bertanggung jawab atas biaya tidak resmi tersebut, karena penggalangan dana di luar aturan biaya yang ditetapkan sebesar Rp300.000 per bulan.
Ia juga meminta polisi mengusut siapa saja yang menyebut dirinya meminta pungutan tidak resmi tersebut dan mengambil jalur hukum jika diperlukan.
Dalam kejadian terbaru, keluarga mendiang mahasiswa PPDS Anestesi Undip, dokter Aulia Risma Lestari –yang disebut meninggal karena bunuh diri- mengajukan pengaduan dugaan pengancaman, intimidasi, dan pemerasan ke Polda Jateng.
Pengacara keluarga mengatakan, terdakwa adalah dokter senior di Aulia. Apa yang dikeluhkan keluarga dokter Aulia Risma?
Keluarga mendiang dokter Aulia Risma yang diduga bunuh diri saat kuliah anestesiologi di Undip melaporkan dugaan penganiayaan tersebut ke Polda Jateng pada Rabu (04/09).
Ibu mendiang dokter Risma, Nuzmatun Malinah, datang ke persidangan di sana didampingi adik mendiang, Nadia, dan kuasa hukumnya, Misyal Achmad.
Misyal mengatakan, laporan yang mereka keluarkan terkait ancaman, intimidasi, penipuan dan banyak hal lainnya.
“Pada dasarnya almarhum adalah mahasiswa PPDS Fakultas Kesehatan (FK) Undipe yang mengalami penganiayaan. Semua bukti sudah kami serahkan ke Polda Jateng,” jelasnya usai melakukan proses pengaduan di dekat ruang SPKT Jateng. . . Kepolisian Daerah
Untuk menguatkan laporan tersebut, dia mengaku telah menyerahkan seluruh bukti yang diperlukan. Termasuk rekaman suara dokter Aulia Risma dan pesan singkat WhatsApp yang berisi tanda-tanda pelecehan.
Ia berharap laporan ini menjadi pintu masuk untuk meningkatkan pendidikan kedokteran di Indonesia. Alasannya adalah beberapa korban mungkin tidak berani menyampaikan pengaduan seperti itu.
Selain melaporkan ancaman, intimidasi, dan penipuan, Misyal juga mengungkapkan pekerjaan dokter Aulia Risma di RS Kariadi melampaui jadwal normal.
Dikatakannya, setiap hari dokter Aulia Risma mengeluhkan pekerjaan atau proses pendidikan warga mulai pukul 03.00 WIB hingga pukul 01.30 keesokan harinya – hal ini terjadi setiap hari.
“Itulah yang menyebabkannya turun,” katanya.
Keadaan yang dinilainya tidak lazim ini, sempat dilaporkan ke pihak keluarga oleh Ketua Program Pendidikan (Prodi) Anestesi Undip pada tahun 2022, namun Misyal mengaku tidak mendapat respon positif.
“Ibunya menuduh anak saya seperti ini, tapi jam belajarnya tidak ada perubahan.”
Soal siapa terlapor, Misyal menyebut ada beberapa dokter senior, Aulia Risma, meski belum mau diungkap identitasnya.
“Yang melapor tidak berani menyebut nama karena almarhum sudah meninggal dunia. [Melapor] mereka juga pelajar, lebih dari satu orang, ada beberapa sesepuh. Besok [Kamis, 5 September 2024] jam delapan pagi. ‘jam. Jamnya akan kembali ke [Polda] Jawa Tengah] Kami di sini untuk wawancara.”
Sementara itu, Kemenkes mengaku belum mengetahui adanya dugaan “bullying” yang jumlahnya antara Rp 20 juta hingga Rp 40 juta. Berapa besaran PPDS Undip yang dianggap tidak resmi?
Kasus dugaan penganiayaan hingga meninggalnya dokter anestesi Undip Aulia Risma Lestari memasuki babak baru dengan temuan baru dari Kementerian Kesehatan.
Kementerian Kesehatan menyebutkan ada permintaan donasi informal dari PPDS Anestesi Undip di RSUP Dr. Kariadi Semarang.
Permintaan uangnya antara Rp20 juta hingga Rp40 juta per bulan, kata Juru Bicara Kementerian Kesehatan Mohammad Syahril dalam keterangannya, Minggu (09/01).
Kemudian Syahril menjelaskan, berdasarkan keterangan berbagai pihak, permintaan uang tersebut diteruskan ke mendiang dokter Aulia Risma pada periode 1 atau Juli hingga November 2022.
Ia mengaku biaya tersebut membebani dokter Aulia dan keluarga.
Alasan tersebut, lanjutnya, diyakini menjadi sumber awal almarhum mengalami tekanan dalam studinya, karena ia tidak menyangka akan setinggi itu.
Syahril mengatakan, penyidikan Kemenkes atas dugaan penganiayaan yang dilakukan Undip masih terus dilakukan bersama pihak kepolisian.
“Barang bukti dan barang bukti mengenai permintaan dana dan biaya pendidikan yang berbeda telah diserahkan ke polisi untuk diproses,” ujarnya. Dokter PPDS Undip: “Bukan Bullying, Tapi Gotong Royong”
Angga Rian, dokter spesialis anestesi senior di PPDS mengakui adanya biaya atau pungutan tidak resmi yang dibebankan kepada tenaga medis di bidang anestesiologi Undip.
Menurut dia, uang sumbangan bukan merupakan bentuk “amal”, melainkan gotong royong karena digunakan untuk sembako dan kebutuhan bersama.
Ia mengatakan, pengelolaan makanan penting bagi penghuni anestesi, terutama pada shift malam. Karena ada juga dokter residen yang makan ketika tidak bisa keluar ruang operasi.
“Beli makan itu sistem gotong royong, kenapa? Karena rencana operasional RSUD Kariadi 24 jam. Makan malam kita tidak disediakan pihak rumah sakit,” ujarnya saat ditemui wartawan FK Undipe.
“Sedangkan residen ini masih di ruang operasi dan menjalani anestesi. Salah satu sistemnya [yang kami buat] adalah kami membeli makanan…dan ini akan terus berlanjut hingga program bedah selesai,” lanjut Angga.
Ia lantas mengklaim, ‘tradisi’ pemungutan biaya di kalangan mahasiswa PPDS ini sudah berlangsung sejak lama.
Menurutnya, ke depan generasi muda juga akan melakukan hal tersebut, karena cara tersebut dianggap sebagai solusi terpadu untuk mengatasi permasalahan pembelajaran.
“Kalau sudah besar, makanan dihidangkan oleh yang bungsu, jadi sebenarnya pembagian makanan dibantu oleh adiknya sehingga anestesi tetap bisa dilakukan di ruang operasi.”
Soal besaran labelnya, Angga mengatakan setiap generasi mempunyai besaran nominal yang berbeda-beda. Ia mengaku belum mengetahui secara pasti berapa besaran biaya yang dibebankan kepada mendiang dokter Aulia Risma Lesta.
Yang pasti, katanya, uang itu dikelola oleh bendahara mahasiswa semester satu.
“Belum pasti [besarnya biayanya], ada yang tidak butuh biaya saat semester. Oleh karena itu, biayanya tergantung kebutuhan uang kita untuk makan.”
“Maksimal yang saya dapat Rp 10 juta dan kalau masih tersisa akan dikembalikan, itu hanya untuk satu periode.” Untuk apa biayanya?
Guru Besar Fakultas Kedokteran Undip, Prof. Zainal Muttaqin juga tak menampik persoalan pungutan atau pungutan tidak resmi ini. Namun dia mengatakan biaya senilai puluhan juta itu digunakan untuk kebutuhan finansial setiap mahasiswa PPDS.
Khusus untuk PPDS anestesi, katanya uangnya digunakan untuk membeli makanan. Pasalnya, dokter residen memiliki jadwal yang padat dan tidak semua staf anestesi dapat beristirahat pada waktu yang bersamaan.
Dari pihak dr Aulia Risma, ia mengatakan almarhum merupakan ketua kelas atau pengawas kelas yang biasa memungut Rp 30 juta setiap bulan dari teman-teman mahasiswanya.
“Dia [Aulia Risma] setiap bulannya mengumpulkan Rp 30 juta dari teman-temannya, bukan untuk orang yang lebih tua, tapi untuk makanannya,” kata Zinal usai aksi solidaritas FK Undip, Senin (09/02).
Kontribusi tersebut, lanjutnya, menjadi tanggung jawab mahasiswa pada semester pertama. Disebutkan, mereka harus membayar iuran sebesar Rp3 juta per bulan pada semester pertama.
Uang yang terkumpul digunakan untuk membeli makanan bagi staf yang bekerja di program anestesi.
Kemudian pada semester berikutnya tidak perlu mengeluarkan biaya apapun karena sudah ada mahasiswa baru.
“Penerimaan PPDS itu bulanan, bukan tahunan. Jadi di semester pertama ada 10 sampai 12 orang. Rp 3 juta per bulan untuk biaya makan 84 orang [mahasiswa PPDS anestesi RS Kariadi].”
“Iurannya diberikan untuk satu periode saja, atau enam bulan.” Bagaimana aturan mengenai biaya mahasiswa PPDS Undip?
Juru Bicara Undip Sugeng Ibrahim mengatakan Dekan Fakultas Kedokteran Undip pada tanggal 24 Maret 2024 telah menetapkan aturan resmi dan tertulis mengenai biaya bulanan mahasiswa PPDS untuk kegiatan Program Akademik.
Dinyatakan bahwa nilai iuran tidak boleh melebihi Rp 300.000 per mahasiswa per bulan dan biaya penyelenggaraan Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) mahasiswa dan sejenisnya menjadi tanggung jawab mahasiswa di bawah koordinasi ketua Program Penelitian.
Pengendalian biaya ini, kata Sugeng, karena sebelumnya ada keluhan dari beberapa mahasiswa kedokteran Undip yang menyatakan mereka dimintai biaya tidak resmi dengan tingkatan yang berbeda-beda.
“Kami mendapat informasi dokter residen diminta 500.000 rupiah, lalu ada juga 1 juta atau 10 juta. Makanya kami keluarkan aturan dasar, biayanya tidak boleh lebih dari 300.000,” kata Sugeng Ibrahim. Untuk BBC Indonesia News, Rabu (09/04).
Dengan menggunakan aturan tersebut, diharapkan kegiatan akademik dan non-akademik yang dapat mengarah pada perundungan dapat dikurangi, lanjut Sugeng.
Namun yang terjadi justru sebaliknya menurut hasil Kementerian Kesehatan.
Penelusuran Kementerian Kesehatan mengungkap adanya biaya tidak resmi di PPDS sebesar Rp 20 juta hingga Rp 40 juta per bulan untuk anestesi.
Sugeng menyebut fenomena ini sebagai “perbaikan” atau “tawar-menawar” di kalangan mahasiswa PPDS anestesi dan nilainya, menurut beberapa mahasiswa di sana, tidak sampai puluhan juta.
“Jumlah itu bersifat sementara dan jika ada penyimpangan Rp20 juta hingga Rp40 juta tidak benar,” tegasnya.
Sugeng juga mengatakan, biaya-biaya yang tidak sesuai aturan tersebut menjadi tanggung jawab mahasiswa PPDS, bukan universitas.
Karena itu, dia meminta polisi mengusut siapa saja yang menyebut dirinya meminta pungutan tidak resmi tersebut dan mengambil tindakan hukum jika diperlukan.
“Kalau mereka melanggar, ambillah [salahkan]… mereka sudah dewasa,” ujarnya.
“Dan polisi dipersilakan untuk menemukan siapa saja yang menerima pelecehan dan hukuman.” “Tuduhan informal tidak boleh dianggap remeh”
Diah Saminarsih, pendiri dan CEO Central Center for Strategic Development Indonesia (CISDI), berpendapat bahwa biaya tidak resmi yang dibebankan kepada mahasiswa PPDS anestesi dapat disebut sebagai “kekerasan atau penyalahgunaan finansial yang tidak wajar”.
Sebab, praktik seperti ini membuka peluang untuk kepuasan diri sendiri bahkan korupsi, karena bisa dimanfaatkan untuk hal-hal yang tidak seharusnya dimiliki, seperti membeli bahan makanan.
“Mungkin awalnya niatnya ada ide bagus untuk membeli makanan atau beraktivitas bersama..tapi bisa dimanfaatkan untuk hal-hal yang membuka peluang kekerasan,” tambah Diah kepada BBC News Indonesia.
“Karena dokter residen ini sangat bergantung pada derajat pembimbingnya, orang yang lebih tua, pimpinannya… padahal mungkin ada dokter residen yang tidak punya uang tambahan, tapi mereka memberi uang,” lanjutnya.
Oleh karena itu, bagi Diah, pungutan liar semacam itu tidak bisa dibenarkan dengan dalih apa pun. Selain itu, besarannya yang biasa mencapai Rp 10 juta dan wajib bagi semua calon dokter, apapun status keuangannya.
“Dan saya yakin pasti ada [mahasiswa PPDS] yang keberatan, bayangkan kalau satu semester biaya pendidikannya Rp 10 juta dan biaya bulanannya sama dengan satu semester… itu tidak benar kan? ?”
Berdasarkan hal tersebut, Diah menilai Undip dan RS Kariadi tidak bisa angkat tangan dan menyalahkan mahasiswa PPDS.
Sebab, lanjut Diah, praktik tersebut diketahui pimpinan fakultas kedokteran alias karena sudah menjadi rahasia umum.
Hal ini juga mungkin merupakan siklus kekerasan finansial yang berlanjut pada setiap generasi.
“Undip tidak boleh ngotot begitu, kayak dia yang keluar. [Undip] tahu, nah, mereka tidak mau tahu.”
“Dan kalau selama ini bungkam, berarti [Undip] menerima [ada pelanggaran].”
“Jadi tidak bisa diterima, apalagi menyebut penulisnya perorangan. Tidak bisa, berarti ada cacat dalam sistem pengelolaan keuangan, karena semua tindakan harus berdasarkan buku.” Bagaimana cara mengatasi masalah ini?
Diah Saminarsih mengatakan, ketiga pihak yaitu Undip, RSUP Kariadi dan Kementerian Kesehatan hendaknya duduk bersama dan mengakui adanya kekerasan atau tindakan perundungan dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis Bedah (PPDS).
Setuju, masalah ini sulit diselesaikan.
Dia akan melihat keputusan yang diambil oleh masing-masing pihak sebagai sebuah serangan.
“Memang ketiga pihak ini harus duduk bersama dan menyampaikan kepada media bahwa kita semua sepakat bahwa [kekerasan] ini terjadi dan kita sepakat bahwa hal ini tidak akan terjadi lagi di masa mendatang,” kata Diah.
Namun terlepas dari itu, Diah menilai Kementerian Kesehatan juga harus memperbaiki kondisi beban kerja di rumah sakit pendidikan tempat para ahli medis meningkatkan keterampilannya.
Menurut dia, harus ada aturan yang jelas mengenai berapa jam mereka bekerja di rumah sakit dan tidak kurang dari gajinya.
Sementara itu, dari pihak Undip, Diah meminta agar dilakukan peninjauan kembali terhadap pekerjaan profesional yang diberikan kepada tenaga medis masa depan.
“Karena mereka menemui pasien untuk meningkatkan ketrampilan. Ini membuka pintu kekerasan, karena mereka sudah harus berhadapan dengan pasien…tidak digaji. Ibaratnya mereka mendapat pekerjaan rumah sakit gratis,” jelasnya.
Reporter asal Semarang, Kamal, turut berkontribusi dalam laporan ini.