Pelaporan Tribunnews.com, Dennis Destryawan
TRIBUNNEWS.COM, IAKARTA – Perwakilan Komisi VII DPR RI Mulyanto menyatakan tidak setuju dengan niat Pemerintah untuk memberikan izin pertambangan khusus kepada kelompok agama, apalagi mereka tidak mendapat prioritas tanpa lelang.
Mulyanto menjelaskan, ini adalah Hukum Minerba. Oleh karena itu, menurutnya, daripada memberikan izin pertambangan (enterprise sharing), lebih tepat dan tepat jika pemerintah hanya membagi keuntungannya (profit sharing) kepada organisasi publik.
“Mendirikan pusat usaha milik kelompok, mengutamakan IUPK, lalu mencari kontraktor pertambangan untuk sektor publik merupakan intervensi yang berlebihan, mementingkan diri sendiri, dan berisiko tinggi. “Kami khawatir ini bisa menjadi ‘jebakan Batman’ bagi masyarakat sipil,” kata Mulyanto saat dikonfirmasi media, Selasa (6/11/2024).
Ada baiknya jika ingin membantu masyarakat sipil, ada baiknya membagi manfaat kegiatan pertambangan kepada masyarakat sipil. Daripada membagi tanggung jawab operasional penambangan, apalagi menciptakan pusat bisnis “imajinasi”, seperti pusat bisnis milik kelompok besar.
“Operasi penambangan sangat sulit dan penuh risiko, baik bagi keuangan negara, masyarakat, dan lingkungan hidup. Oleh karena itu, pengoperasian penambangan memerlukan keterampilan dan pengetahuan,” kata Mulyanto.
Banyak kasus pertambangan yang merugikan masyarakat dan lingkungan, kata Mulyanto, belum lagi ribuan izin pertambangan yang “tertidur” tanpa diterbitkan.
“Juga kita tidak ingin kelompok-kelompok yang mengutuk sumber daya alam, bukannya mencari untung, malah merugi dan menimbulkan masalah bagi masyarakat,” ujarnya.
Mulyanto menjelaskan, penyaluran manfaat kegiatan pertambangan kepada kelompok masyarakat dapat berupa bantuan program CSR (kemitraan sosial) yang bersifat permanen dan berkala. Atau bisa juga melalui pemberian PI (sertifikat penyertaan) yang diterima Pemerintah pada wilayah pertambangan.
“Ini lebih masuk akal dan jujur serta tidak melanggar hukum. Pengalaman dividen selama ini bisa kita ambil, dan tentunya bisa dianalisa dan disempurnakan,” imbuhnya.
Sebelumnya, pemerintah mengizinkan pengelolaan mineral kepada organisasi keagamaan melalui Undang-Undang Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Penerapan UU Pertambangan dan Perdagangan Batubara.
Di sisi lain, muncul kekhawatiran mengenai bagaimana kelompok masyarakat dapat mengelola pertambangan secara efektif, yang dikhawatirkan akan menimbulkan konflik sosial dan kerusakan lingkungan.
Banyak pihak menilai pemberian hak pertambangan hanya upaya pemerintah untuk mendistribusikan “kue” bisnis kepada sektor publik.