TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Diperkirakan hampir tiga juta anak tidak melanjutkan sekolah karena tidak diterima dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2024. Mereka tidak bisa melanjutkan ke sekolah swasta karena tidak mampu membayar.
Koordinator nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengatakan, di sekolah swasta, orang tua harus membayar SPP, biaya keanggotaan, biaya pendaftaran, biaya sekolah, biaya ekstrakurikuler dan lain-lain.
Faktanya, masih ada anak-anak yang bersekolah di sekolah swasta yang tidak mampu membayar. Setelah mereka lulus, pihak sekolah mengambil ijazahnya karena tidak membayar hutang.
“Meskipun Pasal 34 UU Sisdiknas, Pasal 31 UU 1945 sudah jelas menyatakan bahwa semua anak Indonesia mempunyai hak yang sama dalam mengakses layanan pendidikan,” kata Ubaid.
Oleh karena itu, Ubaid mengupayakan sekolah gratis karena semua anak mempunyai hak yang sama dalam mendapatkan pendidikan.
Ubaid mengatakan, “Tujuan kami yang pertama adalah mengajak masyarakat setempat untuk mengetahui hak-haknya sehingga mereka tidak ingin PPDB mengalami proses persaingan lagi karena mereka mempunyai hak yang sama.” Jutaan anak
Ubaid Matraji mengungkapkan, akibat sistem PPDB yang cacat, misalnya pada tahun 2023, jumlah anak putus sekolah (ATS) masih terus bertambah.
Berdasarkan data BPS tahun 2023, ATS masih terdapat di semua jenjang, yaitu SD (0,67%), SMA (6,93%) dan SMA/SMK (21,61%).
Berdasarkan perhitungan, JPPI memperkirakan jumlah ATS mencapai lebih dari 3 juta. Ini angka yang besar. Ini data anak yang diterima tanpa sekolah dan tanpa putus sekolah. Sekarang. “Kemendikbud tahun 2023 menemukan 10.523.879 siswa mengalami diskriminasi di sekolah swasta karena harus membayar,” kata Ubaid.
Hingga 20 Juni 2024, berdasarkan laporan pelaporan dan pemantauan JPPI, terkumpul 162 kasus yaitu kecurangan nilai dan tingkat keberhasilan (42%), kecurangan KK dan zonasi wilayah (21) dan penyampaian (7%), serta ketidakpuasan masyarakat. dengan cara konfirmasi (11%).
Selain itu, terdapat juga laporan kepuasan yang meragukan (19%) yang dilakukan melalui dua metode ilegal yaitu jual beli kursi dan layanan simpanan internal.
“Ini adalah kasus yang terjadi sekali dalam setahun. Tidak ada yang baru. Ya setiap tahunnya seperti ini,” kata Ubaid. Soal PPDB juga menjadi sorotan Ombudsman. Ombudsman membeberkan temuan sementara mengenai permasalahan pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ajaran 2024-2025. Indraja Marzuki Rice, Anggota Ombudsman RI, mengatakan ada permasalahan serius yang diidentifikasi timnya dalam pelaksanaan PPDB di banyak wilayah Tanah Air.
“Hal-hal ini sudah diketahui, jadi kalau ditanya kalau tidak di semua daerah, ya. Tapi terkenal, karena masalah klasik lainnya,” kata Indraja. Perubahan proses
Ia memaparkan beberapa temuan timnya terkait PPDB, salah satunya soal metode pelaksanaan. Dengan demikian, menurut Indraja, banyak peserta PPDB yang tidak teratur jika dibandingkan jalur keberhasilannya.
Menurut Indraja, permasalahan tersebut ditemukan di wilayah Palembang, Sumatera Selatan. Sebab, banyak masyarakat yang menggunakan kertas aspal asli dan palsu yang sudah mendapat sertifikat atau dari dinas atau taman bermain. Ini dilakukan dengan sengaja meski tidak berhasil dan tidak ada persaingan, katanya.
Indraja menjelaskan, dampak dari temuan tersebut, setidaknya ada 911 siswa yang tertinggal karena terkendala cara memenangkan PPDB di tingkat SMA. Kemudian, selain permasalahan tersebut, Ombudsman juga menemukan adanya diskriminasi terhadap peserta PPDB oleh pihak sekolah. Dalam hal ini ada metode dimana nilai Tahfidz harus diterapkan untuk masuk Sekolah Menengah Pertama (SMA).
“Itu diskriminasi karena tidak semua siswa beragama Islam,” kata Indraja. menukarkan
Indraja kemudian mengatakan, ada juga permasalahan terkait pengurusan dokumen dan penggunaan metode zonasi dalam PPDB. Penemuan tersebut mereka temukan di wilayah Yogyakarta dimana banyak siswa yang menggunakan Kartu Keluarga (KK) palsu untuk masuk ke sekolah yang mereka inginkan.
“Masih seperti tahun lalu, masih banyak masyarakat yang memberikan kartu keluarganya kepada anggota keluarga lain dan menganggapnya duplikat dari kartu keluarganya,” tutupnya.
Komisioner Klaster Pendidikan KPAI Aris Adi Lexono mengatakan pemerintah harus memastikan pemenuhan hak anak dan penerimaan peserta didik baru (PPDB).
Ia menyarankan agar pemerintah mengikutsertakan sekolah swasta dalam pelaksanaan PPDB bersama dan, menurut Arees, mengatasi permasalahan kepemilikan sekolah di setiap PPDB.
Aris mengatakan, “Salah satu solusi atas minimnya hak pelajar di beberapa daerah adalah dengan mengabdikan diri pada rencana PPDB bersama.”
Aris menambahkan, “Seharusnya pemerintah daerah membayar biaya pendidikan pada skema PPDB bersama.
Aris mengatakan, pemerintah provinsi harus mendokumentasikan hak anak atas pendidikan secepatnya. Jadi dimungkinkan untuk membaca kemampuan siswa dalam bidang apa pun.
“Peta ini penting untuk memastikan semua anak berhak belajar sesuai tumbuh kembangnya,” kata Aris.
Aris mengatakan dengan adanya grafik ini, anak-anak bisa mengetahui SMA mana yang cocok untuk mereka. Terakhir, PPDB memiliki proses pelaksanaan dimana sebelum anak bersekolah, orang tua atau wali mendapat pemberitahuan dari pemerintah daerah atau lembaga pendidikan – menerima anak di sekolah terdekat, sekolah negeri A, B, C, atau D. , F dengan skema PPDB. Dan sekolah lainnya,” jelas Aris.
Rencana ini, menurut Aris, akan mencegah terjadinya kecurangan dalam sistem PPDB. (TribunNetwork/fah/kps/wly)