TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) menghadapi berbagai tantangan dalam pengelolaan dana haji dan menjaga kualitas ibadah haji.
Salah satu masalah utama adalah penggunaan jamaah berbayar dan jamaah yang masih menunggu, subsidi atau kelonggaran bagi jamaah haji, sebagaimana harus diperhitungkan. .
Wakil Ketua BPKH Asep R Jayapraweera mengatakan, sejak merebaknya Covid-19, biaya ibadah haji meningkat signifikan baik di dalam negeri maupun luar negeri.
“Yang perlu dipahami adalah pentingnya menjaga dukungan finansial haji. Saat ini, pentingnya pendapatan finansial dari penyaluran masih besar untuk mendukung jemaah yang berangkat musim ini,” kata Asep. Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) Diskusi dengan Topik “Pencarian Biaya dan Waktu Tunggu Haji” pada Senin (10/6/2024). Anggota Dewan BPKH, Acep R Jayaprawira.
Asep mengatakan, kejujuran dalam pelayanan haji merupakan salah satu persoalan penting yang harus diselesaikan guna meningkatkan kualitas dan efisiensi penyelenggaraan haji.
Terkait struktur subsidi keuntungan saat ini, Acep menemukan rasio subsidi optimal adalah 70-30.
Artinya, entitas yang keluar akan mengambil 70 persen BPIH dan sisa keuntungan BPKH, sehingga bagian yang dibagikan ke entitas tuan rumah mungkin besar. Ada juga harapan suatu hari nanti dia bisa mendapatkan uangnya sendiri.
Jika jumlah dan persentase laba yang dibagikan kepada organisasi diharapkan besar, maka laba tahunan dapat mengurangi kekurangan atau selisih utang yang harus dibayar organisasi.
Idealnya, ada keseimbangan yang wajar antara jumlah yang dibayarkan oleh jamaah dan jumlah yang diberikan oleh BPKH agar jamaah dapat memperoleh manfaatnya.
“Misalnya biaya penyelenggaraan ibadah haji Rp 100 juta. “Lembaga selanjutnya akan membayar BPKH sebesar Rp 70 juta dari setoran awal dan setoran penuh serta nilai Virtual Account mereka untuk menutupi sisa Rp 30 juta,” ujarnya.
Selama ini tingkat pemanfaatan manfaat dan pahala ibadah haji masih kurang baik.
Asep mengatakan, kualitas dan efisiensi terbaik dalam penyelenggaraan haji dapat terwujud dengan dukungan finansial yang memadai. Sesuai Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Dana Haji, BPKH mempunyai tanggung jawab utama terhadap pengelolaan Dana Haji. Peran ini meliputi penghimpunan, pengelolaan, pengembangan dan penatausahaan dana haji.
Saat ini BPKH menghadapi banyak kesulitan dalam pengelolaan dana haji. Hal ini mencakup permasalahan manajemen yang mempengaruhi volume lalu lintas dan terkait dengan penggunaan BPKH yang efektif dan hati-hati.
“Sesuai Pasal 53 UU Nomor 34 Tahun 2014, apabila terjadi kerugian maka pengurus BPKH secara bersama-sama atau bersama-sama akan menghimpunnya, sehingga opsi investasi ini diutamakan untuk melindungi dana organisasi,” ujarnya.
Acep menekankan perlunya revisi UU 34/2014 untuk memberikan fleksibilitas lebih pada BPKH dan menciptakan keamanan pengelolaan dan kerugian investasi.
Saat ini, investasi yang dilakukan BPKH masih terbatas karena dana yang diinvestasikan berada dalam kerangka hukum. Selain itu, produk-produk Syariah ini terbatas, sehingga membatasi peluang investasi.
“Kami melakukan investasi sesuai syariah. Tidak ada ribawi. Saat ini pasar keuangan syariah terbatas,” imbuhnya.
Oleh karena itu, Asep menilai perlunya revisi UU 34/2014. Sebab dengan pengelolaan yang baik dan aturan administratif yang tepat, BPKH dapat mendorong peningkatan kualitas penyelenggaraan haji dan memberikan manfaat yang permanen kepada masyarakat.
“Tujuan utama kami adalah memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi jamaah haji dan umat Islam pada umumnya dengan dana yang dikelola,” kata Asep.