TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid meminta Kepolisian Negara Republik Indonesia segera menghentikan penggunaan kekerasan dan kekerasan berlebihan terhadap anggotanya.
Tindakan represif polisi terhadap kebebasan sipil diperkirakan akan terus berlanjut dan berpotensi melanggengkan impunitas jika pemerintah terus mengesahkan amandemen UU Kepolisian.
“Kapolri sering mengatakan akan melakukan pembenahan dan reformasi di tubuh Polri. “Sepertinya hal ini tidak pernah terjadi,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid dalam acara Hari Bhayangkara ke-78, Senin (1 Juli 2024).
“Tindakan kekerasan berlebihan dan tindakan sewenang-wenang lainnya terhadap pihak yang membela haknya, terhadap pihak yang mengkritik, terhadap pihak yang berbeda pandangan politik terus terjadi, seringkali melibatkan prajurit Polri,” jelasnya.
Amnesty International Indonesia sendiri menemukan setidaknya terdapat 58 kasus penangkapan sewenang-wenang polisi terhadap 412 pembela HAM pada periode 2019-2023.
Kebanyakan dari mereka yang ditangkap adalah aktivis politik Papua (174), aktivis mahasiswa (150) dan masyarakat adat (44).
Beberapa jurnalis, aktivis buruh dan lingkungan hidup, serta petani dan nelayan juga ditangkap saat menjalankan hak kebebasan berekspresi dan berkumpul.
Kejahatan pembela hak asasi manusia terulang tahun ini. Pada 18 April dan 11 Mei, tiga nelayan di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, yang melakukan aksi perlawanan terhadap perusakan hutan bakau, ditangkap polisi karena diduga merusak gubuk yang dibangun perambah di hutan lindung.
Sebelumnya, para nelayan sempat protes ke aparat atas rusaknya hutan mangrove di wilayahnya, namun tidak ada tindak lanjut.
“Ini tandanya Polri masih tidak menghormati hak masyarakat dalam menyampaikan pendapat. Sebagai aparat penegak hukum, seharusnya polisi memberikan ruang dan perlindungan bagi warga untuk berkumpul secara damai dan menyampaikan pendapat tanpa risiko ditangkap,” ujar Usman.
Penggunaan kekerasan yang berlebihan seperti kekerasan dan penggunaan gas air mata serta meriam air juga sering digunakan oleh petugas polisi ketika berhadapan dengan kebebasan berekspresi secara damai.
Faktanya, dalam beberapa tahun terakhir, aparat kepolisian mendominasi kasus penyiksaan terhadap warga sipil.
Sejak Juli 2019 hingga Juni 2024, Amnesty International Indonesia mencatat aparat Polri terlibat dalam 100 kasus dugaan penyiksaan yang melibatkan 151 korban, dari total 142 kasus yang melibatkan 227 korban.
Pada tanggal 9 Juni, masyarakat dikejutkan dengan tuduhan bahwa polisi menggunakan kekerasan berlebihan dan menganiaya beberapa anak di Kota Padang, Sumatera Barat, dengan dalih menguasai daerah tersebut, menyusul tawuran yang menyebabkan salah satu korban meninggal di usia tersebut. dari tiga belas. – seorang pemuda berusia bertahun-tahun.
Polisi juga menyulut rokok, memukuli dan menembak anak-anak yang ditangkap dan dituduh melakukan perkelahian.
“Di Hari Bhayangkara ini, Polri harus mengakui kegagalannya dalam menjunjung HAM. Pengakuan ini harus menjadi inspirasi bagi Polri untuk benar-benar berbenah, menegakkan hukum terhadap aparatnya yang terlibat kekerasan tanpa pandang bulu dan mencegah terjadinya kejadian serupa. lagi,” kata Usman.