TRIBUNNEWS.COM – Kesadaran semakin meningkat tentang bahaya senyawa kimia bisphenol A (BPA). Hal ini terlihat di banyak negara yang telah menerapkan dan memperkuat peraturan untuk mengendalikan paparan BPA dalam kehidupan sehari-hari.
Indonesia menjadi salah satu negara yang mengambil langkah tersebut melalui Peraturan BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) Nomor 6 Tahun 2024. Peraturan ini mewajibkan adanya label peringatan BPA pada galon polikarbonat yang dapat digunakan kembali.
Meski aturan tersebut sudah resmi berlaku, pemerintah Indonesia masih memberikan waktu yang cukup lama kepada produsen botol air minum (AMDK) berbahan BPA untuk mematuhi aturan tersebut, yakni empat tahun ke depan.
Pemberlakuan peraturan BPOM kemungkinan akan resmi pada tahun ini karena mendapat penolakan dari berbagai pihak, salah satunya adalah AMDK, sebuah asosiasi yang dipimpin oleh petinggi perusahaan asing yang telah puluhan tahun memproduksi galon BPA polikarbonat di Indonesia. ancaman
Kontroversi dalam pelabelan bebas BPA
Pakar polimer ITB Prof. Ahmad Zainal Abidin. Selama ini, masyarakat diketahui masih bersikap lunak terhadap bahaya BPA. Ia juga mengkritisi aturan BPOM yang memberi label pada galon polikarbonat berbahan BPA.
Ahmad menyuarakan kritiknya, dengan menyebutkan kurangnya transparansi dalam pelabelan produk dan kebutuhan untuk segera mendapatkan informasi akurat tentang bahan kimia berbahaya.
“Bahaya PET sebenarnya bukan BPA. Labelnya harus spesifik,” kata Prof. Ahmad Zainal Abidin, pada diskusi “Fomo Apa-Apa BPA Free” di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, (21/08).
Namun diketahui bahwa zat berbahaya seperti BPA bisa berbahaya jika kandungannya melebihi batas.
Peraturan BPA sangat ketat di negara-negara berkembang
Di tengah kontroversi yang sedang berlangsung, BPOM sangat terbuka dengan keputusannya untuk meresmikan peraturan pelabelan bahaya BPA pada galon polikarbonat yang dapat digunakan kembali.
Sebelumnya, BPOM menerima data dari tiga pemeriksaan fasilitas manufaktur pada tahun 2021 hingga 2022 yang menemukan kadar BPA dalam air minum masih di atas batas aman sebesar 0,6 ppm masing-masing sebesar 3,13 persen dan 4,58 persen.
Jadi, angka konsumsi sehari-hari yang dapat ditoleransi (BPA) menjadi lebih ketat. Ini salah satu alasannya kita akan mengkaji ulang regulasi yang sedang kita kerjakan, kata Anisia, Direktur Standardisasi Pangan Olahan BPOM, dalam wawancara TV di BPA beberapa waktu lalu. yang lalu.
Risiko kontaminasi BPA pada kemasan makanan atau minuman ini dinilai terlalu berbahaya bagi produk yang dikandungnya dan sebaiknya dihindari.
Oleh karena itu, persepsi bahwa BPA tidak berbahaya berbanding terbalik dengan temuan dan peraturan BPOM, serta hasil dan kebijakan ketat yang diterapkan di negara berkembang.
Selain itu, dibandingkan Indonesia yang kebijakannya masih longgar, Uni Eropa sudah bergerak maju dan menerapkan peraturan penggunaan BPA pada kemasan makanan dan minuman yang lebih ketat.
27 negara berkembang yang tergabung dalam Uni Eropa telah berkomitmen untuk menghilangkan BPA pada akhir tahun 2024.
Secara praktis, larangan penggunaan BPA, bahan yang digunakan dalam kaleng, botol air minum, gelas dan nampan plastik, namun dianggap (EFSA) berbahaya bagi sistem kekebalan tubuh, akan dimulai pada akhir tahun 2024.
“Setelah penarikan bertahap, bahan kimia ini (BPA) tidak lagi diizinkan untuk digunakan dalam produk (kemasan makanan dan minuman) di Uni Eropa,” demikian rilis media Uni Eropa pada 12 Juni.