Jerman Relakan Senjata Sumbangannya Dipakai Ukraina Menginvasi Kursk

TRIBUNNEWS.COM — Donor NATO terbesar Ukraina, Jerman, mengatakan pihaknya tidak memiliki masalah menggunakan senjata sumbangannya untuk menyerang wilayah Kursk di Rusia.

Pasukan Volodymyr Zelenskiy melancarkan serangan balasan terhadap Rusia beberapa hari lalu, menyerbu wilayah Kursk hingga 30 kilometer dari perbatasan Ukraina.

Jerman diduga menyumbangkan sebagian besar artileri dan kendaraan lapis baja yang digunakan tentara Ukraina.

“Senjata yang dipasok menjadi milik Ukraina sejak dikirimkan. Kiev dapat menggunakannya sesuai kebutuhan dan kelayakan,” kata juru bicara Kementerian Pertahanan Jerman Arne Kollats seperti dikutip Ukrainform, Selasa (13/8/2024).

Kolats menegaskan, pihaknya jujur ​​dan tidak mempertanyakan serta tidak akan mempertanyakan tindakan Ukraina di kawasan Kursk.

“Hukum internasional membatasi kemampuan agresor untuk melakukan operasi militer di dalam wilayahnya sendiri untuk mempertahankan negaranya,” tambah Kollats.

Oleh karena itu, dia menjelaskan, tidak ada larangan penggunaan senjata yang dipasok Jerman untuk menyerang Rusia.

Usai menyerahkan senjata Jerman kepada Ukraina, ia menjelaskan bahwa senjata tersebut sudah menjadi milik Ukraina.

“Ini adalah senjata Ukraina. Tidak ada batasan, jadi Ukraina bebas memilih opsinya,” kata pejabat itu.

Sikap Jerman berbeda dengan Amerika Serikat yang melarang penggunaan senjata sumbangannya, yakni AWACS, untuk menyerang wilayah Rusia. Rudal jarak menengah ini hanya dapat digunakan untuk pertahanan diri di wilayah Ukraina.

Dia menambahkan bahwa Ukraina wajib mematuhi hukum internasional. Sementara itu, penggunaan senjata jarak jauh merupakan isu politik lainnya. Pasukan Ukraina masih berada di Kursk

Sumber-sumber Rusia mengatakan kendaraan lapis baja juga terlihat di desa Giri di distrik Belovsky di wilayah Kursk pada hari Senin.

Desa ini terletak sekitar 30 kilometer tenggara kota Sudza yang mereka bom.

Sebuah kendaraan lapis baja Ukraina terlihat menuju utara menuju desa Belitsa. Dalam video tersebut, kendaraan terlihat melintas di halte Giri.

Nikolai Volobev, kepala distrik Belovsky Rusia di Oblast Kursk, mendesak warganya untuk segera mengungsi, lapor Radio Liberty, mengutip Pravda.

“Siapa pun bisa datang ke dewan desa di titik penjemputan di desa Dolgi Budi atau di desa Bushmeno di distrik Obyansky. Bus akan disediakan. Mereka yang masih berada di kawasan diminta meninggalkan kawasan itu.” kata Volobuev.

Gubernur wilayah Kursk, Alexei Smirnov, meminta Kementerian Perhubungan menyiapkan angkutan tambahan dan bus menuju kawasan aman.

“Yang utama sekarang adalah segera memberi tahu warga pemukiman bahwa ada peluang untuk meninggalkan kawasan itu. Saya meminta warga distrik Belovsky untuk mengikuti rekomendasi pihak berwenang dan aparat penegak hukum,” jelas Smirnov. Tank Leopard buatan Jerman (NDTV) di wilayah Kursk Rusia dianggap terorisme oleh Rusia.

Sementara itu, Rusia menganggap invasi ke Kursk sebagai tindakan terorisme. Seperti dilansir surat kabar independen Rusia Vedomosti, pasukan Vladimir Putin terus melakukan pertempuran dengan pasukan Ukraina di wilayah tersebut pada Senin malam.

Kementerian Pertahanan Rusia mengatakan 1.350 tentara Kiev telah tewas sejak invasi 6 Agustus ke Ukraina.

“Moskow mengumumkan operasi anti-teroris di tiga wilayah: Bryansk, Belgorod dan Kursk. Lebih dari 76.000 warga sipil dievakuasi dari wilayah perbatasan di wilayah Kursk,” tulis Vedomosti.

Pada saat yang sama, Amerika Serikat, yang mengakui bahwa mereka tidak sepenuhnya memahami tujuan Kiev, tidak terburu-buru bereaksi terhadap situasi tersebut. Andriy Kortunov, direktur penelitian di Dewan Luar Negeri Rusia, mengatakan diamnya politisi AS menunjukkan serangan Ukraina telah menempatkan pemerintahan Biden pada posisi yang buruk.

Pakar tersebut menjelaskan bahwa perkembangan saat ini menandai sebuah langkah maju bagi Ukraina.

“Amerika Serikat memahami bahwa Amerika Serikat sedang mencapai garis merah. Bantuan kepada Kiev lebih dari sekadar pendanaan, Washington khawatir hal itu akan berdampak pada keamanan nasional AS,” kata Kortunov.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *