TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pemerintah melalui Menteri Kelautan dan Investasi (Kemenko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan pihaknya akan membatasi pembelian bahan bakar subsidi yang direncanakan mulai tahun 2024. 17 Agustus
Pembatasan ini dimaksudkan untuk menyasar subsidi bahan bakar dan menghemat uang pemerintah.
Menyikapi hal tersebut, Direktur Jenderal ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro memperkirakan biaya yang dikeluarkan dari kebijakan pembatasan subsidi BBM mungkin akan lebih besar dibandingkan manfaat yang bisa diperoleh.
“Jika tidak dikelola dengan baik, dampak ekonomi dan sosial dari sistem pembatasan minyak mungkin tidak dapat dikelola,” ujarnya, Rabu (14/08/2024).
Komaidi mengatakan, biaya sosial dari kebijakan pembatasan subsidi BBM pada tahun 2024 bisa besar menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang digelar serentak di Indonesia.
Membatasi akses terhadap minyak pada masa koalisi demokratis dapat menimbulkan masalah langsung dan tidak langsung.
Sementara demi mencapai pendidikan dan integritas masyarakat, para peserta Pilkada dan pendukungnya tidak boleh menggunakan dana minyak untuk menjalankan pesta demokrasi yang sedang berjalan.
Menurut Komaidis, kebijakan pembatasan subsidi BBM bukanlah hal baru. Kebijakan perminyakan yang dirintis dan dilaksanakan sejak pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terbukti tidak efektif.
Dalam kebijakan pembatasan bahan bakar sebelumnya, identifikasi frekuensi radio (RFID) diperkenalkan untuk memungkinkan lebih banyak fokus pada subsidi bahan bakar.
RFID dikatakan menghitung jumlah bahan bakar yang digunakan kendaraan dan dipasang di SPBU. Saat ini, perangkat yang kompatibel dengan RFID dipasang di mobil.
Berdasarkan data, ratusan ribu kendaraan dilaporkan dilengkapi RFID, namun pemerintah mengubah kebijakan tersebut.
Selama pengambilan keputusan kebijakan pengelolaan bahan bakar hanya dilakukan secara terbatas, maka hasil yang dicapai tidak akan terbaik dan dapat menimbulkan banyak permasalahan sekunder dalam implementasinya.
Kebijakan pengelolaan bahan bakar akan lebih efektif jika subsidi bahan bakar diberikan melalui sistem langsung, yaitu subsidi langsung kepada masing-masing penerima manfaat dibandingkan menggunakan metode subsidi harga komoditas seperti sistem subsidi yang berlaku saat ini. .
Saat ini, dari sisi regulasi, kebijakan pembatasan subsidi BBM tidak dapat dilaksanakan jika Pemerintah tidak menyelesaikan peninjauan kembali Keputusan Presiden (Perpres) No. 191/2014.
Badan usaha yang menjalankan kekuasaan (Pertamina) tidak memiliki identitas dan payung hukum untuk melaksanakan kebijakan tersebut jika evaluasi terhadap Perpres tersebut tidak tuntas.
Komaidi menjelaskan bahwa penghematan biaya subsidi bahan bakar yang dapat dicapai melalui tindakan pembatasan bahan bakar sebagian besar tidak ada bandingannya kecuali pemerintah secara jelas mengidentifikasi bangunan atau bagian yang akan dibatasi.
“Jika melihat subsidi BBM dan kuota BBM JBT pada tahun 2024 dan 2025 yang tercatat lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, maka dari sisi finansial, dapat dikatakan Pemerintah pada prinsipnya tidak berencana membatasi bahan bakar minyak. , katanya.