TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Asosiasi Media Internet Indonesia (AMSI) menghimbau seluruh pelaku media digital segera menerapkan Standar Operasional Prosedur (SOP) pencegahan dan penanganan kekerasan online berbasis gender (KBGO).
Kebijakan ini penting menyusul temuan penelitian AMSI dan Media Regulatory and Regulatory Monitor (PR2MEDIA) yang dirilis di Hotel AOne, Jakarta, Selasa (30/4/2024).
“Adalah kebutuhan mendesak untuk meningkatkan kualitas anggota perusahaan media AMSI dan menanggapi kebutuhan mendesak untuk melindungi korban kekerasan berbasis gender online,” ujar Wakil Presiden AMSI Citra Dyah Prastuti dalam sambutannya meluncurkan temuan penelitian.
Menurut Citra, salah satu indikator perusahaan media yang sehat adalah kemampuannya dalam melindungi jurnalis dari kekerasan – termasuk kekerasan berbasis gender online – dan mencegah pelaku kekerasan masuk ke dalam media.
Riset mengenai pandangan eksekutif media terhadap kekerasan berbasis gender online yang dilakukan pada Februari hingga Maret 2024 melibatkan 277 responden dari 27 wilayah di Indonesia.
Beberapa temuan penting dari penelitian ini adalah masih adanya hubungan gender yang kompleks di kalangan eksekutif redaksi dan perusahaan media.
Masih adanya sistem pengupahan yang gendered, budaya patriarki yang menyebabkan perilaku dan kelambanan sosial yang gendered sehingga dapat memicu kekerasan.
“Persepsi para eksekutif perusahaan media tentang kesetaraan gender dan keadaan kesetaraan gender di industri media masih belum optimal,” kata Peneliti dan Pengawas Regulasi Media (PR2MEDIA) Engelbertus Wendratama.
Seluruh responden yang diwawancarai untuk penelitian ini dinilai berdasarkan lima dimensi: nilai-nilai individu, budaya internal dan rutinitas sehari-hari, orientasi gender, akses terhadap sumber daya, dan kekerasan seksual offline dan online.
Level ini untuk memudahkan penilaian identitas gender mereka. Dari skor tertinggi 65, diperoleh rata-rata skor responden sebesar 44,3.
Artinya, masih diperlukan upaya serius di berbagai bidang untuk mencapai kesetaraan gender yang optimal, kata Wendratama.
Publikasi temuan penelitian yang didukung oleh ABC International Development dilanjutkan dengan diskusi kelompok terfokus yang dihadiri oleh seluruh Country Director AMSI serta organisasi dan jaringan mitra, pada Selasa 30 April 2024.
Dalam diskusi tersebut, disampaikan bahwa penanganan kekerasan berbasis gender di media seringkali tidak memadai dan tidak mengatasi akar masalahnya.
Jika pelaku tidak diberikan sanksi jera, selalu ada kemungkinan terjadinya kekerasan berulang.
“AMSI perlu melakukan pelatihan keamanan yang komprehensif bagi seluruh pekerja media, meningkatkan koordinasi advokasi dan bantuan hukum, serta memberikan dukungan kesehatan mental kepada para korban,” kata salah satu panelis, Dirjen Perhimpunan Pengembangan Media Indonesia (PPMN), Fransisca Ria Susanti.
Semua itu penting, kata Santi, untuk mencegah meningkatnya kasus KBGO di kalangan redaksi dan staf lainnya.
Sementara itu, Direktur Teknis AMSI dan Pemimpin Redaksi The Conversation Indonesia (TCID) Ika Krismantari menegaskan, kebijakan media sensitif gender tidak boleh hanya diterapkan secara internal.
“Saat memilih narasumber dan partisipan di berbagai aspek media, keseimbangan gender juga harus dipertimbangkan,” katanya.
Selain diskusi dan sosialisasi, sebagai tindak lanjut kajian ini, AMSI menyiapkan modul pencegahan dan penanganan kekerasan berbasis gender online (KBGO) bagi jurnalis dan pekerja media.
Unit ini terbentuk bekerja sama dengan beberapa organisasi seperti Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKA) dan Forum Jurnalis Wanita Indonesia (FJPI).
AMSI berharap modul ini dapat menjadi acuan bagi jurnalis dan media dalam pencegahan dan penanganan KGBO. (*)