Dilaporkan wartawan TribuneNews24.com Ashri Fadilla
TribuneNews.com, Jakarta – Mantan Menteri Pertanian (Mentan), Shahrul Yasin Limpo (SYL) membantah pernyataan rekannya Panji Hartanto terkait tarif 20 persen bagi pejabat di Kementerian Pertanian.
Hal itu dilakukan SYL saat membacakan nota pembelaan atau pembelaan dalam kasus dugaan pemerasan dan gratifikasi di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Jumat (5/7/2024).
Dalam pledoinya, SYL tak menyangka Panji akan memanfaatkan posisinya sebagai kaki tangan.
Padahal, Panji diangkat menjadi Ajudan karena latar belakangnya sebagai pegawai Kementerian Pertanian yang masih muda dan mementingkan diri sendiri.
Namun di luar dugaan (Panji) melontarkan tuduhan yang tidak berdasar dengan berbagai asumsi dan fakta yang dimanipulasi, kata SYL yang duduk di kursi terdakwa di hadapan majelis hakim.
Salah satu manipulasi informasi yang diutarakan SYL adalah keterangan Panji dalam berita acara pemeriksaan (BAP) dan terungkap di persidangan.
Dalam BAP, Panji menyebut SYL menuntut 20% anggaran masing-masing satuan kerja (Satkar) Kementerian Pertanian.
SYL menjelaskan anggaran Kementerian Pertanian sekitar Rp 15 triliun per tahun.
Artinya 20 persen anggarannya Rp3 triliun.
Jika dikalikan empat tahun atau saat SYL menjabat pada 2019 hingga 2023, maka bayaran 20 persen yang diterimanya seperti diklaim Panji adalah Rp12 triliun.
“(Kalau saya dapat Rp 12 triliun, Red), saya akan menjadi orang yang sangat kaya dan berkecukupan,” kata SYL.
SYL membandingkan aset yang disita penyidik KPK jauh di angka Rp 12 triliun.
Artinya keterangan saksi Panji tidak ada artinya, kata mantan Gubernur Sulsel itu.
Selain itu, lanjut SYL, keterangan Panji dijadikan dasar jaksa dalam mengajukan tuntutan dan tuntutan.
Bahkan, dalam persidangan, keterangan Panji bertolak belakang dengan keterangan saksi lain.
Seperti Sakshi Kasdi (Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian), Direktur Jenderal (Dirgen) dan Direktur Kementerian Pertanian.
Para saksi mengaku, informasi mengenai bea masuk, perintah pemungutan, dan biaya 20 persen diperoleh dari Panji. Tidak ada dengar pendapat langsung dari SYL.
“Keterangan para saksi (Qasdi dan lain-lain) hanya mendengar apa yang dikatakan dan diucapkan orang lain,” kata SYL.
Sesuai asas non-testimony de audito, lanjut SYL, keterangan yang diperoleh dari orang lain bukan merupakan keterangan saksi.
Ketentuan ini juga dijelaskan dalam pasal 185 (1) KUHAP.
Dimana keterangan saksi tidak memuat keterangan yang diperoleh dari orang lain.
Sebagai informasi, JPU KPK dalam kasus ini meminta agar SYL divonis 12 tahun penjara dan denda Rp500 juta, sedangkan asistennya divonis 6 bulan penjara.
Ia kemudian akan dibayar sejumlah kesenangan yang diterimanya, yakni Rp 44.269.777.204 dan USD 30.000.
Besarnya penggantian akan dibayarkan dalam jangka waktu satu bulan setelah perkara selesai atau mempunyai kekuatan hukum tetap.
Jika tidak membayar, menurut jaksa, harta kekayaannya akan disita dan dilelang untuk membayar uang ganti rugi.
Menurut jaksa, dalam kasus ini SYL terbukti melanggar Pasal 18 UU Pemberantasan Tipikor Pasal 55 ayat (1) KUHP juncto Pasal 64 Pasal 12 Huruf E (1) KUHP sebagai pasalnya. pembayaran pertama.