Laporan reporter Tribunnews.com, Nitis Hawaroh
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Direktur Bea dan Pajak Kementerian Keuangan Askolani mengatakan, penetapan tarif pajak sejumlah makanan olahan, termasuk makanan siap saji, masih panjang.
Hal ini sebagai respons terhadap Kebijakan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Penerapan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Menurut Askolani, proses PP dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengarah ke Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebelum diakhiri dengan Bea dan Cukai.
“Kalau belum, tentu akan dibuat undang-undang baru. Prosesnya Kementerian Kesehatan yang mengatur, Kementerian Keuangan dan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) akan kita selesaikan pengusutannya,” kata Askolani. dikatakan. di Kantor Bea dan Cukai Jakarta Timur, Rabu (31/7/2024).
Nanti harus disetujui melalui Bea dan Cukai, jadi ada proses untuk keluarnya, ujarnya.
Askolani berbicara sangat baik bahkan mengaku tidak mengetahui tentang pajak makanan siap saji atau makanan jadi seperti yang disebutkan dalam PP. Dia kembali menegaskan, undang-undang ini berada di bawah Kementerian Kesehatan.
Itu hanya tertulis, kita harus menunggu Kementerian Kesehatan melaksanakannya. Yang punya PP itu ada di depan Kementerian Kesehatan, jadi bersabarlah. , “Askolani menekankan.
Dalam kontak sebelumnya dengan Kontan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuka opsi penerapan pajak terhadap makanan olahan tertentu, termasuk makanan siap saji. Cara ini digunakan untuk mencegah penyakit tidak menular dengan mengendalikan konsumsi gula, garam, dan lemak.
Hal ini diatur dalam Kebijakan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Penerapan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
“Pemerintah Pusat dapat menetapkan pajak atas pangan olahan tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” bunyi Pasal 194 ayat 4 undang-undang tersebut.
Selain dapat mengenakan pajak, pengendalian konsumsi juga dilakukan dengan membatasi gula, garam, dan lemak.
Sekadar informasi, hingga saat ini berdasarkan UU No. 39 Tahun 2007 dan Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Perpajakan, hanya ada tiga jenis produk yang dikenakan pajak, yakni etil alkohol atau ethanol, minuman yang mengandung etil alkohol. , dan produk tembakau. .
Pada dasarnya yang mengatur barang pidana adalah produk yang jenis atau sifat konsumsinya akan dikontrol, diawasi peredarannya, penggunaannya dapat menimbulkan dampak negatif terhadap masyarakat atau lingkungan hidup, atau penggunaannya memerlukan pengenaan pajak daerah. demi keadilan dan keseimbangan.