Laporan reporter Tribunnews.com, Rina Ayu
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Polusi udara terbukti menyebabkan banyak gangguan kesehatan, termasuk peningkatan penyakit asma.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes RI) berharap masyarakat tidak menganggap enteng polusi udara.
Prevalensi asma di Indonesia sangat mengkhawatirkan, sekitar 7 persen, sekitar 18 juta orang akan terkena asma pada tahun 2022.
Situasi ini diperburuk oleh tingkat polusi yang mengkhawatirkan, sehingga memerlukan tindakan segera dan tegas untuk melindungi kesehatan masyarakat.
“Jangan anggap remeh bahaya pencemaran udara, dapat menimbulkan gangguan kesehatan bahkan kematian,” kata Plt. Kepala Departemen Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemenekes) Dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid ditulis pada Senin (12/8/2024).
Menyikapi tingginya prevalensi asma dan PPOK, tim memperkuat layanan dasar dalam enam pilar strategis Transformasi Kesehatan.
“Kami fokus pada penguatan layanan dasar agar mereka dapat mendiagnosis asma dan memberikan pengobatan dan kami bertujuan untuk memastikan pasien asma mendapatkan layanan kesehatan yang tepat dan berkualitas,” kata Nadia.
Upaya penguatan fasilitas kesehatan primer antara lain dengan menyediakan peralatan spirometri ke fasilitas kesehatan masyarakat.
Spirometri sudah mulai dilakukan oleh tenaga medis terlatih, sehingga meningkatkan kemampuan dokter dalam mendiagnosis asma dan memastikan pasien menerima pengobatan yang tepat untuk penatalaksanaan medis.
Disinggung mengenai postingan di media sosial tentang 144 penyakit yang tidak bisa langsung dikirim ke puskesmas tingkat lanjut, Nadia mengatakan saat ini dokter puskesmas memiliki pengetahuan yang luas tentang 144 penyakit.
Namun terkait asma, ketersediaan obat-obatan di Pusat Pelayanan Kesehatan Primer (FKTP) belum sesuai dengan pedoman pemerintah setempat dan pedoman penatalaksanaan asma, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya asma berat.
“Hal-hal itu belum termasuk daya tampung 144 penyakit, padahal penyebaran gejala klinis, beratnya penyakit, kurangnya sumber daya dan fasilitas kesehatan serta obat-obatan yang diperlukan, kapasitas Rumah Sakit Spesialis Lanjutan (FKRTL),” ungkapnya. Nadia.
Saat ini manajemen rawat inap belum tersedia di puskesmas, dokter harus merujuk pasien ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan khusus sesuai indikator kesehatan.
Strategi dirancang untuk memastikan bahwa penderita asma menerima perawatan komprehensif dan akses dini terhadap layanan kesehatan yang tepat.
“Melalui kemitraan ini, kami berharap seluruh pasien mendapatkan perawatan dan dukungan yang diperlukan agar berhasil mengelola penyakitnya,” kata Nadia. Jawab PDPI
Ketua Pokja Asma dan PPOK Persatuan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Dr. Budhi Antariksa, SpP(K), dalam wawancara eksklusif menjelaskan bahwa obat-obatan yang tersedia di Puskesmas hanya untuk pengendalian asma berat dan tidak dapat digunakan untuk mengobati asma dalam jangka waktu lama, sehingga pasien dirujuk ke rumah sakit yang memiliki akses. rumah sakit. obat serupa.
Meski asma merupakan salah satu spesialisasi dasar dokter umum di puskesmas, PDPI mengingatkan pemerintah agar puskesmas harus dilengkapi dengan obat anti inflamasi.
“Memang benar, jika dokter memiliki pengetahuan tentang 144 penyakit, termasuk asma, namun jika pengelola tidak memiliki obat di puskesmas, sebaiknya dokter puskesmas mengirim pasien yang menderita asma ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan khusus sesuai anjuran. BPJS,” ujarnya.
Minimnya obat inhalasi di fasilitas kesehatan masyarakat menjadi salah satu penyebab mahalnya biaya pengobatan asma dan meningkatnya risiko asma yang tidak terkontrol.
Tanpa tersedianya obat penting ini di fasilitas kesehatan masyarakat, angka kematian penderita asma akan terus meningkat, karena lebih dari 57,5 persen pasien asma masuk IGD dan perlu dirawat terpisah dari rumah sakit. penyakit tidak terkontrol. ,” kata Bhudhi.
Sekadar informasi, hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Universitas Indonesia (CHEPS UI) melakukan penelitian untuk memperkuat pengobatan yang tersedia di puskesmas terhadap 144 penyakit yang dikhususkan untuk pekerja umum. , yaitu diabetes.
CHEPS UI mengatakan peralihan pengobatan insulin dari rumah sakit ke puskesmas akan mengurangi beban Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pengobatan diabetes sebesar 14 persen atau sekitar 17 persen per tahun.
Penghematannya diperkirakan mencapai Rp 22 triliun (2024-2035), atau setara dengan penghematan tahunan sebesar Rp 1,7 triliun.