Pakar Militer: Taktik Al Qassam Cerdas untuk Diadaptasi, Hizbullah Membunuh Israel Secara Perlahan
TRIBUNNEWS.COM – Pakar militer dan pakar strategis Yordania, Nidal Abu Zaid, memberikan analisisnya tentang situasi yang berkembang dan pertempuran di Gaza dan wilayah pendudukan di utara Israel, di perbatasan Lebanon.
Dilaporkan oleh Khaberni, Abu Zaid mengatakan meskipun tentara Israel (IDF) memiliki keunggulan dalam intelijen teknis, teknologi dan pengintaian canggih, milisi Brigade Al Qassam, sayap perlawanan Hamas, telah mampu mengimbanginya dengan memodifikasi topografi serangan dan penyergapan. operasi.
Abu Zaid menjelaskan bahwa IDF menerapkan konsep “pemadaman kebakaran” yang banyak digunakan oleh tentara Israel selama perang Gaza.
Artinya, IDF akan mengerahkan pasukan dan beroperasi di wilayah yang dicurigai sebagai kantong milisi perlawanan atau di wilayah yang menerima informasi adanya sandera.
Setelah “membongkar” wilayah tersebut dengan kekuatan besar, IDF umumnya menarik pasukannya untuk mengerahkan mereka ke wilayah sasaran lainnya di Gaza.
“Hal ini menunjukkan bahwa pasukan pendudukan berusaha menerapkan prinsip bahwa apa yang tidak diberantas dengan kekerasan akan muncul dengan kekerasan yang lebih besar. Namun prinsip ini terbukti gagal sejak awal “operasi di Gaza,” ujarnya.
Salah satu penyebab kegagalan konsep tempur IDF adalah adaptasi strategi milisi perlawanan terhadap reaksi dan manuver pasukan pendudukan Israel.
Abu Zaid menganalisis, Al Qassam saat ini lebih pintar dalam melakukan penyerangan tanpa harus membuang amunisi, senjata, dan personel. Pejuang dari Brigade Al Qassam, sayap bersenjata Hamas. Operasi darat tentara Israel di Rafah mendapat perlawanan sengit dari Brigade Al Qassam dan milisi perlawanan Palestina lainnya. (khaberni/HO)
Demikian pula ketika mengerahkan pasukan, Qassam cenderung “memecah-mecah” pasukan, membagi mereka menjadi unit-unit kecil untuk melakukan penyergapan.
Selain bisa mundur dengan cepat saat pertempuran memanas, strategi ini juga sangat efektif untuk “menyelamatkan” personel karena meski terburu-buru, jumlah anggota yang mati hanya sebatas unit kecil tersebut.
Strategi di lapangan ini kemudian dikoordinasikan melalui saluran diplomatik yang memberikan tekanan terhadap Israel tidak hanya di medan perang tetapi juga di panggung komunitas internasional.
Faktor-faktor inilah yang membuat Hamas bisa bertahan, meski Israel memiliki kekuatan militer dan politik yang besar selama sembilan bulan terakhir.
“Perlawanan baru-baru ini mulai mengandalkan fragmentasi kekuatan dan tidak terlibat dalam bentrokan (skala besar) yang menentukan, yang dengan jelas menunjukkan bahwa milisi perlawanan telah memisahkan jalur militer dari jalur diplomatik dan “Kami sedang melihat kemungkinan terburuk.” skenario yang mungkin terjadi di masa depan,” katanya, kata Abu Zaid. Pasukan Israel (IDF) melakukan operasi militer di Jabalia, Gaza utara, pada 14 Mei 2024. Operasi IDF di Jabalia mendapat perlawanan sengit dari Brigade Al Qassam, sayap militer Hamas. (Emanuel Fabian/Times Israel) IDF tak mau digerus seperti di Jabalia
Di medan pertempuran, Abu Zaid menegaskan, pergerakan Brigade Lapis Baja 401 dari poros Philadelphia menuju kamp Rafah yang terbagi menjadi dua bagian, yakni kamp Yabna dan Shaboura, menunjukkan bahwa pasukan pendudukan berhati-hati dan tidak ingin mengulangi model tersebut. dari kubu Jabalia.
“Jadi mereka cenderung tidak mau terlibat dalam bentrokan (besar) yang menentukan dengan kelompok perlawanan,” jelasnya.
Hal ini menjelaskan alasan rendahnya intensitas operasi (IDF dan Hamas) dalam beberapa hari terakhir.
“Meskipun ada intensitas gerakan militer, baik kelompok perlawanan Israel maupun kelompok pendudukan Israel tidak ingin terlibat dalam bentrokan yang menentukan. Pendudukan menjadi lebih berhati-hati dalam bentrokan militer,” katanya. Asap mengepul dari serangan Israel di kota perbatasan Lebanon. Konfrontasi antara gerakan Hizbullah dan tentara IDF semakin sengit seiring berlanjutnya invasi Israel ke Jalur Gaza. (khaberni/HO) Hizbullah membunuh secara perlahan
Di utara, akibat meningkatnya intensitas operasi militer antara Hizbullah dan tentara pendudukan IDF di wilayah pendudukan utara Lebanon selatan, gerakan Hizbullah juga menunjukkan respons yang mengejutkan Israel.
Abu Zaid mencontohkan pembunuhan seorang prajurit terkemuka sekaliber “Talib Salem Abdullah”, julukannya (Hajj Thalib), yang merupakan komandan unit Al-Nasr yang bertanggung jawab atas operasi militer di sektor tengah Galilea utara. , artinya Hizbullah kini menyasar sasaran strategis Israel di wilayah pendudukan.
“(Pembunuhan tentara Lebanon) menyebabkan intensifikasi respons Hizbullah hingga berhasil menargetkan pabrik “Blasan” yang dimaksudkan untuk memproduksi lembaran baja untuk kendaraan militer pasukan “pendudukan,” katanya.
Abu Zaid menekankan bahwa meskipun terjadi peningkatan eskalasi di front utara, indikator-indikator ini tidak menunjukkan bahwa konfrontasi akan langsung mengarah pada perang terbuka dan habis-habisan.
Abu Zaid menyimpulkan analisisnya dengan mengatakan bahwa apa yang terjadi di bagian utara wilayah pendudukan lebih dari sekedar serangan tradisional namun lebih merupakan perang gesekan dimana tujuan Hizbullah adalah membunuh musuh secara perlahan.
“Kita menyaksikan konfrontasi militer yang dikontrol dengan hati-hati oleh Hizbullah dan tentara pendudukan, karena keputusan untuk berperang di utara wilayah pendudukan di Lebanon selatan bukan milik Hizbullah atau Israel, melainkan di tangan Washington dan Tel Aviv. rupanya tidak ingin memperluas lingkaran konflik melainkan bergerak menuju ketenangan,” ujarnya.