TRIBUNNEWS.COM – Bisphenol-A (BPA) merupakan bahan kimia yang biasa digunakan pada produk sehari-hari. Salah satunya adalah bahan polimer plastik polikarbonat yang digunakan untuk makanan dan minuman. BPA sering digunakan untuk membuat resin epoksi sebagai pelapis kemasan logam atau kaleng makanan.
Meski sering digunakan pada produk tersebut, penggunaan BPA dikritik oleh berbagai kalangan karena dianggap dapat menimbulkan gangguan kesehatan.
Baru-baru ini, pakar polimer dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Profesor Ir Akhmad Zainal Abidin, PhD, dalam pertemuan bertajuk ‘Disintegrasi Informasi Palsu Dampak BPA terhadap Kesehatan’ menjelaskan Khasiat dan Kegunaan BPA dalam Keseharian. Kehidupan.
BPA banyak digunakan karena dapat menghasilkan polimer plastik berkualitas tinggi yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari, ujarnya.
Profesor Akhmad juga menggambarkan migrasi BPA sebagai kekhawatiran masyarakat. Menurut penjelasannya, migrasi BPA tidak terjadi pada plastik keras, melainkan terjadi bila ada sisa atau residu suatu bahan kimia yang terperangkap di dalam plastik tersebut.
Risiko kesehatan dapat disebabkan oleh penggunaan plastik yang salah, seperti memanaskan plastik berbahan BPA pada suhu tinggi yang dapat menyebabkan plastik terlepas dan bermigrasi.
Informasi dari Analisis Bisphenol A (BPA): Cara Memahami Informasi BPA yang Diterbitkan oleh Koperasi Primer Ikatan Dokter Indonesia dan Penelitian Pendidikan Kesehatan Lembaga Anguis menunjukkan bahwa penyimpanan pada suhu 5, 20 dan 40 derajat Celcius jika mesin tidak diubah. Migrasi BPA dari kemasan ke makanan atau minuman.
Penelitian yang sama menunjukkan bahwa aktivitas BPA dari wadah plastik dalam air panas bersuhu 100°C bisa mencapai 55 kali lebih tinggi dibandingkan air bersuhu 20°C.
Fakta ini menunjukkan bahwa laju migrasi BPA meningkat seiring dengan meningkatnya suhu. Oleh karena itu, pengguna harus selalu memperhatikan penyimpanan dan penggunaan dengan baik.
Profesor Akhmad kemudian menjelaskan bahwa tubuh manusia juga dapat mencerna dan melepaskan partikel BPA, sehingga jika terjadi secara rutin pada tubuh yang sehat biasanya tidak berdampak signifikan terhadap kesehatan.
Mula-mula masuk ke dalam tubuh, lalu diserap di lambung, lalu masuk ke dalam darah. Darah mengalir ke sistem dalam tubuh, termasuk hati. Atau berkeringat.” Dia menjelaskan.
Dalam pertemuan yang sama, Dr. Aditiwarman Lubis dari Lembaga Penelitian IDI pun mengatakan. Paparan BPA dalam kehidupan sehari-hari sulit dihindari, ujarnya. Namun perlu dilakukan pembatasan paparan agar tidak melebihi batas yang ditetapkan BPOM, yaitu maksimal 0,6 bagian per juta (bpj).
“Suka atau tidak, disadari atau tidak, kita menggunakan atau terpapar BPA. Yang harus dijaga dalam paket ini hanyalah batas keamanannya dan diatur oleh regulator. Dalam hal ini, kata BPOM .
“Kalau angka BPA-nya di bawah BPOM, seharusnya aman.”
Diperlukan lebih banyak penelitian
Dokter spesialis onkologi dari RSCM, Dr. Andhika Rachman, SpPD-KHOM, mengatakan masih terlalu dini untuk membuktikan BPA secara langsung menyebabkan kanker.
Menurutnya, penelitian terhadap BPA, suatu penyakit, belum menghasilkan informasi yang jelas. Selain itu, sebagian besar penelitian BPA dilakukan pada hewan sehingga tidak bisa diterapkan langsung pada manusia.
Sesuai peraturan terbaru yang mewajibkan label ‘BPA Free’, Profesor Akhmad mengingatkan konsumen untuk lebih berhati-hati.
“Label-label ini (BPA Free) mungkin tidak diajarkan. Padahal, banyak sekali zat-zat berbahaya yang dilarang oleh BPOM. Label BPOM harusnya cukup untuk menjamin bahwa semuanya aman. Karena menulis satu per satu,” kata Profesor Ahmad.
Ia menjelaskan, setiap jenis plastik mengandung bahan kimia yang kurang aman dibandingkan BPA. Oleh karena itu, ‘BPA Free’ tidak menjamin kemasan plastik tersebut bebas dari bahan kimia lain jika melebihi batas yang ditentukan. (*** Fitrah ***)