Sejarah Sunda Bandon yang hampir punah dan perlu upaya revitalisasi. Hasil diseminasi menghasilkan tiga rekomendasi.
TRIBUNNEWS.COM – Seperti ratusan kesenian Sunda, kisah Sundabandon saat ini diambang kepunahan. Seni dan sastra ini mungkin akan hilang sebelum masyarakat Sunda mengenal berbagai cerita dan isinya.
Ketika warisan budaya hilang, atau dalam beberapa kasus hancur, rangkaian pengetahuan dari masa lalu terganggu dan hilang.
Oleh karena itu, diperlukan upaya restorasi dan relokasi fasilitas untuk menjaga kelestarian seni dan sastra tersebut.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut mengemuka dalam acara bertajuk “Penyebaran Cerita Sunda Panton” yang diselenggarakan oleh Yayasan Kebudayaan Langkagai dan didukung oleh Badan Pembinaan dan Pembinaan Bahasa.
Menurut Etti RS, presiden pertama Yayasan Kebudayaan Lankare, tujuan pembagian ini salah satunya untuk memahami status Sunda Bandon dari dulu hingga saat ini.
“Apalagi kita berharap acara ini bisa menghasilkan cerita-cerita Pantone yang luar biasa dan perlu diterjemahkan agar bisa diadaptasi atau ditransfer ke media,” kata Eti, Selasa (30/7) di Gedung Perpustakaan Agip Rossidi.
Pembagian tersebut menghadirkan empat pakar, yakni Arthur S. Nalan (peneliti ISBI), Aan Merdeka Permaná (pantun sastra dan dokumenter), Engkus Kuswara (praktisi seni pantun), dan Dadan Sutisna (pengamat literasi Sunda). Diskusi dimoderatori oleh Miftahul Malik dan Yulianto Agung.
Acara ini diselenggarakan oleh Dr. Herawati, Kepala Balai Bahasa Provinsi Jawa Barat.
Di hadapan hadirin yang sebagian besar adalah pelajar, ia menyampaikan pentingnya melestarikan warisan budaya seperti cerita Bandon.
“Saya sudah membaca beberapa cerita Sundabandon dan banyak mengandung hikmah,” ujarnya.
Dalam budaya Sunda, carita pantun adalah pertunjukan seni bercerita yang diiringi petikan kecapi pantun.
Dahulu pertunjukan ini dimulai setelah salat magrib dan berlanjut hingga subuh.
Kadang diiringi alat musik seperti kechers, tarawangsa atau seruling.
Berbeda dengan banton-banton sastra Melayu, drama banton Sunda merupakan cerita yang memiliki struktur khusus.
Aan Merdeka Permana mengatakan pertunjukan seperti itu jarang terjadi di masyarakat.
Sebenarnya Sunda Bandon bukan sekadar pertunjukan, melainkan rangkaian cerita yang juga mengandung sejarah.
Aan mendokumentasikan kisah Ban Tun melalui usahanya sendiri pada tahun 1990an. Dia merekam penampilannya di film. Namun usahanya tidak dilanjutkan karena kesulitan keuangan.
“Kemudian saya merekrut pemain Bantu yang saya pekerjakan: Ki Atang, Ki Odon dari Sumedang dan Nyimas Karnéwi, seorang penerjemah Bantu perempuan dari Subang,” kata Aan.
Sementara itu, juru bahasa pantun semakin menghilang, menurut Engkus Kuswara.
Ia satu-satunya orang di Bandung Timur yang masih bisa mementaskan pantun. Regenerasinya sedikit sekali karena memerlukan kajian yang serius.
“Penerjemah puisi itu harus hafal ratusan cerita. Jadi perlu kemampuan bahasa Sunda. Selain itu, harus bisa main kecapi dan menyanyi,” kata Nkusi.
Nalan mengatakan peristiwa ini menarik karena bisa menjadi model bagaimana kisah Bandon bisa berubah.
Merupakan warisan budaya dengan “potensi adat” yang luar biasa. Upaya kreatif menjadikan Sunda Bandon sebagai tradisi yang hidup dan berkembang seiring zaman.
“Sundabandon bisa diintegrasikan ke dalam tradisi yang hidup dengan cara-cara baru. Sebagai sumber transportasi, perlu dilakukan langkah-langkah untuk menata ulang, merevitalisasi, dan menafsirkan kembali. Nantinya bisa ditransformasikan ke dalam bentuk seperti membaca drama, drama tari, dan lain-lain. “ucap Arthur.
Sekaligus Dadan Sutisna menjelaskan tentang sejarah Bandon dari zaman dulu hingga saat ini. Ratusan cerita Panton dapat ditelusuri kembali, masing-masing dengan versi interpretasi keberadaan Panton sendiri.
Pantun Sunda dipelajari oleh orang Belanda, dan empu seperti Ajip Rosidi dan Enoch Atmadibrata berusaha merekam pantun secara langsung.
“Namun masih banyak celah yang perlu diisi. Diantaranya, cerita-cerita Bantun tidak diterjemahkan. Padahal, sebagai sumber komunikasi, cerita-cerita Banton harusnya diterjemahkan agar masyarakat luas bisa lebih memahaminya. “ucap Dadan.
Latihan ini menghasilkan tiga rekomendasi. Pertama, meski ada kemungkinan tur singgah, pertunjukan Bandon harus tetap dipertahankan.
Kedua, diperlukan upaya regeneratif agar cerita Bantun tidak terputus dan dapat dikembangkan lebih lanjut. Ketiga, diperlukan sebuah organisasi yang menyediakan sumber dokumenter untuk cerita-cerita Bantun, termasuk pekerjaan penerjemahan rutin.