Wartawan Tribunnews.com Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Putusan Mahkamah Agung (MA) tentang syarat usia minimal calon kepala daerah Nomor 23 P/HUM/2024 pada 29 Mei 2024 menuai kontroversi.
Keputusan tersebut dikritik sejumlah pihak karena dinilai sarat muatan politik untuk membuka jalan bagi putra Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, untuk maju dalam pemilu serentak 2024.
Namun, ada pihak lain yang menilai keputusan ini mendorong kebangkitan kepemimpinan.
Feri Amsari, pakar hukum tata negara Universitas Andalus, menilai proses judicial review (JR) yang berujung pada putusan ini aneh.
Ia heran mengapa Mahkamah Agung menyatakan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Tahun 2020 tentang pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2020 bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. mengenai pemilu. Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pemilu).
Padahal, menurut dia, UU Pemilu dan PCPA Nomor 9 Tahun 2020 tidak bertentangan.
Berikut ketentuan Pasal 7 Ayat 2 Ayat e UU Pemilu Teritorial yang memuat bab ini:
Berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun bagi calon gubernur dan wakil gubernur dan 25 (lima puluh lima) tahun bagi calon bupati dan calon bupati, serta calon walikota dan wakil walikota;
Mengenai ketentuan Pasal 4 Ayat 1 PKPU No.9 Tahun 2020 yang artinya:
Usia 30 (tiga puluh) tahun bagi calon gubernur dan wakil gubernur, dan usia 25 (lima puluh lima) tahun bagi calon bupati dan wakil bupati atau calon walikota dan wakil walikota, terhitung sejak keputusan pasangan calon;
Sehingga dia mengatakan PKPU tidak bertentangan dengan UU Pilkada.
“Nah, ini aneh, apakah MA kemudian membacakan UU Pemilu Nomor 10 Tahun 2016 yang jelas-jelas membatasi usia calon gubernur, wakil gubernur, dan sebagainya? kata Ferry saat dikonfirmasi, Jumat (31/5/2024).
“Ini tanda tanya besarnya, yang diuji kesesuaian PKPU dengan UU Pemilu 10/2016, kalau undang-undangnya 30 dan 25 tahun ya (berarti) PKPU benar.. Lalu pertanyaannya. “PKPU harusnya dicabut jika tidak berdasarkan undang-undang.” Ferri bertanya dengan heran.
Menurut dia, ketentuan tersebut sama dengan yang diterapkan di Mahkamah Konstitusi (CC) pada proses JR.
Ia mengatakan, dalam proses JR di MK, jika undang-undang sudah diatur dengan jelas, maka tidak ada alasan lain bagi MK untuk menafsirkan kembali isi teks UUD.
“Jadi aneh sekali perkara pemeriksaan PKPU Nomor 23/PHUM/2024 ini dibawa ke MA. Siapa yang diuntungkan dengan pembatalan ini?” Dia bertanya.
Menurut rumor yang beredar, usia Kaesang belum genap 30 tahun dan harus mendapat kesempatan untuk maju pada pemilu berikutnya, lanjutnya.
Menurutnya, perbuatan-perbuatan tersebut akan menjadi permasalahan serius dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, jika semua aturan tata cara bernegara itu berdasarkan suka atau tidak suka.
Menurutnya, perintah seperti itu tidak mungkin membuka pintu bagi kepentingan orang lain.
“Saya juga bilang tidak boleh kan? Jadi kalau kita berpikir seperti itu, tidak mungkin konstitusi dimanipulasi, aturan mainnya dihancurkan, bahkan kita pernah bertemu di pemilu presiden ( Pilpres 2024) kemarin,” ujarnya.
“Apa saja upaya yang dilakukan untuk menghancurkan cakrawala berpikir masyarakat, menghormati konstitusi, hancur,” lanjutnya. Hanya 3 hari
Seperti diberitakan sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) hanya membutuhkan waktu tiga hari untuk memutus perkara Partai Garuda terkait batasan usia minimal calon kepala daerah.
Waktu bermula ketika Perkara Nomor 23 P/HUM/2024 disidangkan pada tanggal 27 Mei dan diputus pada tanggal 29 Mei 2024.
Dalam putusannya, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan Hak Peninjauan Kembali (HUM) yang diajukan Presiden Direktur Garuda Indonesia (Garuda), Ahmad Rida Sabana.
MA. Juru bicara Soeharto menjelaskan alasan mengapa kasus tersebut ditangani dalam waktu yang relatif singkat.
Ia mengatakan, kecepatan penyelesaian perkara dilakukan sesuai prinsip lembaga peradilan terkait.
“Idealnya cepat, karena prinsip pengujiannya dilakukan dengan cepat, mudah, dan murah. “Yang cepat itu ideal,” kata Soeharto, Kamis (30/5/2024).
Putusan tersebut diperiksa dan diadili oleh Ketua Majelis yang dipimpin oleh Ketua Hakim Julius, Ketua Hakim Serah Bangun dan Ketua Hakim Yodi Martono Wahunadi sebagai anggota panel.
Karena alasan hukum, Mahkamah Agung memutuskan Pasal 4 ayat (1) huruf d Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Tahun 2020 Nomor 9 tentang Pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota. dan Wakil Walikota bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Pasal 4 Ayat 1 huruf “d” PKPU berbunyi “Usia minimal 30 (tiga puluh) tahun bagi calon gubernur dan wakil gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun bagi calon bupati dan wakil bupati atau calon gubernur dan wakil gubernur. calon walikota dan wakil walikota.” Penetapan pasangan calon”.
Mahkamah Agung menilai pasal ini tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat kecuali jika ditafsirkan sebagai berikut:
“Berusia paling sedikit 30 (tiga puluh) tahun bagi calon gubernur dan wakil gubernur dan 25 (lima puluh lima) tahun bagi calon bupati dan wakil bupati atau walikota dan wakil walikota setelah dilantiknya pasangan calon terpilih.
Mahkamah Agung memerintahkan KPU RI membatalkan Pasal 4 ayat (1) d PKPU Nomor 9 tentang pencalonan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan/atau walikota dan wakil walikota.
Dengan keputusan tersebut, masyarakat dapat mencalonkan diri sebagai calon gubernur dan wakil gubernur apabila berusia minimal 30 tahun, dan sebagai calon bupati dan wakil bupati atau walikota dan wakil walikota apabila berusia 25 tahun. pemimpin regional terakhir ditunjuk.