TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Penyelidikan kasus pembunuhan sadis Vina Cirebon alias Vina Devi Arsita belum rampung.
Kapolri Jenderal Lisio Sigit Prabowo menilai, penyelidikan awal atas kematian pasangan Wina dan Ek di Cirbon, Jawa Barat beberapa waktu lalu, tidak menggunakan metode ilmiah dalam mengusut tindak pidana tersebut.
Wakil Kapolri Komisaris Jenderal Paul Agus Andrianto mengatakan hal ini banyak menimbulkan spekulasi hingga dugaan adanya kejanggalan dalam penyidikan kasus Vina dan Eky.
“Dalam kasus pembunuhan Wina dan Eki, bukti permulaan tidak didukung oleh penyidikan tindak pidana ilmiah,” kata Agus saat membacakan pesan Jenderal Sigit kepada lulusan STIK-PTIK di Jakarta, Kamis (20/6). Jadi ada persoalan persepsi negatif, terdakwa mengaku diintimidasi, korban salah ditangkap dan dianggap tidak profesional jika melepas kedua AS tersebut, lanjutnya.
Menurutnya, investigasi kejahatan ilmiah memiliki banyak peran penting dalam proses penyidikan suatu perkara untuk menghasilkan bukti-bukti yang kuat dan valid.
“Jadilah penyidik yang profesional dan hindari perbuatan menyimpang, penyidikan tindak pidana secara ilmiah harus diutamakan dalam mengungkap perkara, dalam mengungkap perkara harusnya alat buktinya clear than light, clearer than light,” ujarnya.
Agus mencontohkan penyidikan kasus yang menggunakan investigasi kejahatan ilmiah, yaitu kasus pembunuhan Dr. Mawartihi di Papua.
“Dalam kasus pembunuhan Dr Mawartihi di Papua, penyelidikan kejahatan ilmiah mengarah pada identifikasi pelaku menggunakan hasil sampel DNA pada barang bukti,” ujarnya.
Oleh karena itu, Agus yang menyampaikan pesan Kapolri menekankan kepada seluruh penyidik agar tidak terburu-buru mengusut kasus tersebut. Bahkan, bila perlu, para ahli dilibatkan agar penelitian tersebut transparan dan ilmiah.
“Hindari mengambil kesimpulan atas suatu kasus sebelum seluruh fakta dan angka dikumpulkan, yang tentunya melibatkan para ahli di lapangan,” ujarnya.
Selain itu, dia juga meminta penyidik proaktif memperbarui perkembangan kasus tersebut.
“Penyidik harus bisa segera memberikan kepastian hukum terhadap seluruh perkara yang dilaporkan masyarakat.” “Hindari penyidikan yang tertunda sehingga timbul permasalahan baru yang tidak hanya merugikan masyarakat tetapi juga institusi,” ujarnya.
“Melakukan tindakan tegas tanpa diskriminasi terhadap kejahatan yang melanda masyarakat,” tambah Agus. Disebutkan, ketujuh terpidana kasus pembunuhan Vina tersebut bukan anggota geng motor. Basari, Ketua RW 10 Desa Saladara, mengatakan terkait hal tersebut. (khusus) ((khusus))
Polisi pun mengungkap fakta kasus pembunuhan Veena Devi (16) dan pacarnya Muhammad Rizki alias Eki (16) tahun 2016 di Cirebon, Jawa Barat. Kepala Direktorat Humas Polri Irjen Sandy Nugroho mengatakan, para saksi saat itu diduga disuruh berbohong oleh pelaku.
“Dalam perkara di pengadilan, ada saksi yang didatangi kuasa hukum pelaku dan orang tua pelaku meminta untuk tidak memberikan keterangan berdasarkan fakta,” kata Sandi di Mabes Polri.
Namun Sandy tak merinci siapa pelakunya. Sebab diketahui saat itu ada delapan terdakwa yang diadili.
Sementara tersangka baru bernama Peggy Setiawan alias Perong baru ditangkap setelah delapan tahun buron. Sandy hanya menyebut intervensi yang diterima saksi malah dicurangi sejumlah uang untuknya.
Sebenarnya saya minta maaf, dia berbohong sehingga tidak bisa memberikan informasi berdasarkan apa yang dia ketahui, apa yang dia lihat, dan apa yang dia ketahui, lanjutnya.
Sementara itu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasona Laoli bereaksi terhadap kabar tujuh terpidana kasus Vina Cirebon mengajukan grasi kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 2019.
Pengampunan tersebut kemudian ditolak oleh Presiden Jokowi. Ketujuh terpidana tersebut antara lain Rivaldi Aditya Vardhana, Eko Ramadhan, Jaya, Suprianto, Ekka Sandhi, Hadi Saputra, dan Sudirman.
Menurut Yasona, ia harus memeriksa terlebih dahulu dokumen terkait permohonan grasi tersebut. – Pertama saya harus periksa, pertama saya harus periksa – kata Jason.
Jason mengaku belum mengetahui apakah 7 terpidana tersebut mengajukan grasi atau tidak. Dia tidak pernah memeriksa keberadaan kasus pengampunan tersebut. “Saya belum memeriksanya,” katanya.
Seperti diketahui, kasus pembunuhan Vina mencuat di Tirbon usai dirilisnya film “Vina: 7 Days” yang diadaptasi dari kasusnya dan menjadi perbincangan hangat.
Peristiwa ini sebenarnya terjadi pada tahun 2016 ketika Veena diperkosa hingga dibunuh oleh beberapa anggota geng motor.
Polisi menangkap 8 dari 11 penjahat dalam kasus ini. Tujuh di antaranya divonis penjara seumur hidup yakni Rivaldi Aditya Vardhana, Eko Ramadhan, Hadi Saputra, Jaya, Eka Sandhi, Sudirman, dan Suprianto.
Narapidana lainnya, Shaka Tatal, divonis 8 tahun penjara dan kini bebas. Dalam kasus tersebut, Petugas Peggy Setiawan alias Peggy Perong ditangkap pada Selasa sore (21/5/2024).
Peggy ditangkap di kawasan Bandung, Jawa Barat. Dalam pelariannya, polisi mendapat informasi kasar bahwa Peggy bekerja sebagai kuli bangunan di Bandung.
Kabid Humas Polda Jabar Kompol Jules Abraham Abast menjelaskan peran Peggy dalam pembunuhan Wina Cirebon.
Jules mengungkapkan, peran Peggy dalam kasus tersebut diketahui berdasarkan keterangan saksi pada 20 Mei 2024, 22 Mei 2024, dan 25 Mei 2024.
Peggy berperan menyita dan mengejar korban Rizki dan korban Vina dengan menggunakan sepeda motor Honda Beat warna oranye, kemudian memukuli korban Rizki dan korban Vina dengan menggunakan tongkat.
“Dia kemudian mengajak korban Rizki dan korban Vina jalan-jalan ke TKP bersama saksi, memukul korban Rizki dengan balok kayu, kemudian memperkosa korban Vina dan membunuh korban Vina dengan balok kayu, lalu membawa korban. Rizky dan korban Veena dalam penerbangan,” kata Jules.
Peran PS alias perong alias Robi Irawan berdasarkan keterangan saksi pada tanggal 22 Mei 2024 dan 24 Mei 2024, saksi telah bekerja di TKP selama 5 tahun dan saksi mengetahui wajah-wajah orang yang biasa berjalan. oleh. . SMP Negeri 11 Cirebon, namun tidak mengetahui namanya. Juli menambahkan.
Di sisi lain, polisi juga menyebut Peggy berusaha mengubah identitasnya menjadi Robbie Irawan. Namun, polisi menyebut fakta yang mengejutkan adalah dua DPO lain bernama Andy dan Dan adalah fiktif.
“Ada satu DPO, bukan dua. Ternyata yang bernama Dan dan Andi tidak ada. Jadi DPO yang benar itu yang bernama PS (Peggy Setiawan). Tersangkanya hanya sembilan, jadi DPO-nya hanya satu,” dia dikatakan. Direktur Kriminal dan Kriminal Polda Jabar, Kompol Suravan.
Kesimpangsiuran jumlah DPO, kata Suravan, disebabkan adanya perbedaan pernyataan mengenai proses pemeriksaan.
Setelah ditelusuri secara mendalam, ternyata kedua nama yang disebutkan yakni Andy dan Dan tidak ada alias fiktif.
“Sejauh ini tersangka atau DPO dalam pemeriksaan kami ada satu orang. Jadi tersangkanya ada sembilan, bukan 11,” kata Suravan (Jaringan Tribun/abd/fik/wly).