Revisi UU TNI Dikhawatirkan Mengembalikan Dwi Fungsi ABRI, DPR Diminta Hentikan Pembahasannya

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – DPRK diminta segera menghentikan pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Desakan itu muncul saat BEM Aliansi Seluruh Rakyat Indonesia mengutarakan sikapnya saat proses uji UU TNI.

“Menghimbau kepada IR DPRK untuk berhenti membahas RUU perubahan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia,” kata Satria Naufal Putra Ansar, Koordinator Popular Center BEM SI, Rabu (10/7/2024) di pernyataan tertulis. ).

Satria mengatakan ada permasalahan serius pada proyek tersebut. Yakni, menegakkan kembali dwifungsi ABRI/TNI yang pada masa lalu melemahkan tata kelola pemerintahan yang demokratis dan meminggirkan hak asasi manusia (HAM).

“Hal ini terlihat dari peninjauan kembali usulan UU TNI khususnya pada Pasal 47 Nomor 2 yang membuka kemungkinan bagi TNI aktif untuk menduduki jabatan di berbagai kementerian dan lembaga negara non kementerian. Prinsipnya, TNI yang aktif akan mempunyai peluang untuk menduduki jabatan sipil, ujarnya.

Ia mencatat, Pasal 47 ayat 2 RUU TNI menambahkan kalimat “serta kementerian/lembaga lain yang memerlukan kekuatan dan pengalaman prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden.”

Dia mengatakan, penambahan frasa tersebut bisa memberikan ruang bagi TNI untuk menduduki jabatan tidak terbatas pada 10 kementerian dan lembaga yang diatur dalam UU TNI.

“Dengan perubahan ini, kementerian dan lembaga yang tidak terkait dengan pertahanan bisa saja diisi oleh pejabat aktif melalui kebijakan presiden ke depan, seperti Kementerian Agama, Kementerian Pedesaan, Kementerian Pendidikan, dan lain-lain,” ujarnya.

Menurut dia, BEM SI menilai RUU ini juga mengabaikan fakta bahwa penempatan personel militer aktif pada posisi strategis di lembaga sipil dapat menghambat karir dan menurunkan motivasi pegawai negeri.

“Hal ini dapat menimbulkan gesekan dan ketegangan di tempat kerja, serta menurunkan moral dan kinerja aparatur sipil negara secara keseluruhan. Lebih lanjut, kebijakan ini dapat dilihat sebagai bentuk “militerisasi” birokrasi. bertentangan dengan semangat demokratisasi dan profesionalisasi aparatur sipil negara”.

Menurut dia, penempatan anggota TNI aktif pada posisi sipil mempunyai implikasi penegakan hukum lainnya, terutama terkait kewenangan untuk mengadili tindak pidana, termasuk korupsi.

“Masalahnya muncul karena UU Peradilan Militer Nomor 31 Tahun 1997 belum direvisi. Menurut Undang-undang ini, perwira TNI yang terlibat dalam kejahatan militer atau kejahatan umum harus diadili di pengadilan militer. posisi yang terlibat dalam kegiatan kriminal”, tutupnya. Poin yang didapat

Rapat Paripurna DPR RI (28/5/2024) pada Selasa menyetujui Tentara Nasional Indonesia (TNI) mengubah UU Nomor 34 Tahun 2004 menjadi RUU yang diusulkan DPR.

Ada beberapa poin dalam proyek tersebut yang menarik banyak perhatian.

Posisi TNI

Menurut Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, TNI berada di bawah Presiden dalam penempatan dan penggunaan kekuatan militer.

Kemudian, ayat 2 pasal 3 menyatakan TNI berada di bawah koordinasi Kementerian Pertahanan di bidang kebijakan dan strategi pertahanan, serta dukungan administratif.

Namun revisi UU TNI memuat usulan agar TNI berfungsi sebagai instrumen keamanan negara.

Nantinya, TNI akan menjadi senjata negara di bidang pertahanan dan keamanan negara di bawah kepemimpinan presiden.

Wakil Panglima TNI

Hingga saat ini TNI dipimpin oleh seorang panglima yang diangkat dan diberhentikan oleh presiden atas persetujuan DPRK.

Namun dalam rancangan revisi Pasal 13 Ayat 3 UU TNI, terdapat jabatan Wakil Panglima TNI yang mendampingi Panglima TNI.

“Panglima dibantu oleh seorang wakil panglima yang berpangkat perwira senior bintang empat,” demikian bunyi rancangan undang-undang TNI hasil revisi tersebut.

Sebelumnya, Panglima TNI bekerja tanpa dukungan wakil panglima.

TNI menduduki posisi sipil

Rancangan revisi UU TNI menetapkan TNI yang masih aktif dapat menduduki jabatan di sepuluh lembaga atau kementerian sesuai kebutuhan lembaga masing-masing.

Syaratnya, penempatan ini dilakukan atas permintaan pimpinan badan negara yang bukan milik departemen dan departemen serta harus sesuai dengan peraturan tata usaha yang berlaku.

Padahal, berdasarkan aturan sebelumnya, tentara hanya boleh menduduki jabatan sipil setelah menyelesaikan dinas militer atau pensiun.

Sepuluh lembaga atau kementerian yang bisa ditempati prajurit TNI adalah Kantor Koordinator Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Kode Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Negara, Riset Nasional. dan Penyelamatan (SAR), Narkoba Nasional dan Mahkamah Agung.

Implementasi TNI tidak lagi terbatas pada sepuluh lembaga atau kementerian tersebut.

Usia pensiun bagi prajurit TNI

Pasal 53 UU TNI menyebutkan, prajurit TNI berpangkat perwira dapat mengabdi sampai mencapai usia 58 tahun, sedangkan bintara dan wajib militer pensiun pada usia 53 tahun.

Namun dalam revisi Pasal 53 UU TNI disebutkan usia pensiun perwira diperpanjang dari semula 58 tahun menjadi 60 tahun.

Selanjutnya, usia pensiun personel non-militer dan wajib militer dinaikkan menjadi 58 tahun.

Khusus untuk jabatan fungsional, menurut undang-undang, prajurit dapat bertugas di angkatan bersenjata hingga usia 65 tahun.

“Khususnya, masa dinas militer bagi perwira tinggi bintang 4 dapat diperpanjang paling banyak 2 kali, yang ditetapkan dengan keputusan Presiden,” bunyi RUU tersebut.

Perpanjangan masa jabatan militer berlaku paling lama dua tahun dan (atau) dapat diperpanjang kembali dengan persetujuan presiden.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *