Kemenperin Catat Terjadi Penurunan Keterlibatan Indonesia dalam Rantai Pasok Global

Demikian dilansir reporter Tribunnews.com Lita Febriani

SURAT KABAR TRIBUN.

Pada tahun 2000, rasio GVC maju Indonesia mencapai 21,5 persen dan menurun menjadi 12,9 persen pada tahun 2017.

Pada periode ini, rasio reverse GVCs di Indonesia menurun dari 16,9 persen pada tahun 2000 menjadi 10,1 persen pada tahun 2017.

“GVC didukung dengan menambah nilai dalam negeri dengan mengekspor produk setengah jadi ke negara lain. Jadi pembuatannya dilakukan di negara lain dan kita mengekspor bahan mentah produk setengah jadi yang menjadi produk akhir di negara lain.” Direktur Kementerian Sumber Daya Industri dan Pembangunan Internasional Syahroni Ahmad, Anna (7/12/2024).

Pada saat yang sama, Indonesia mengimpor bahan mentah, mengimpor produk setengah jadi, produk setengah jadi, kemudian mengolahnya di dalam negeri hingga menjadi produk jadi dan kemudian mengekspornya.

“Jadi bolak-balik kita sama-sama kehilangan arah dalam hal partisipasi Indonesia dalam rantai nilai global,” kata Roni.

Rasio partisipasi Indonesia pada forward GVC lebih tinggi dibandingkan pada reverse GVC. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia semakin terlibat dalam kegiatan hulu atau upstream.

“Jadi kalau kita petakan dalam smile curve, keikutsertaan Indonesia dalam GVC didominasi oleh perspektif manufaktur dari supply atau value chain. Itu hanya 20 persen dari proses industri manufaktur. Di R&D, peran itu lebih penting lagi. Atau bahkan lebih sebesar 40 persen dan memiliki nilai keamanan yang lebih besar pada GVC yang masih kurang di Indonesia,” kata Roni.

Hal inilah yang membedakan partisipasi negara maju dan negara berkembang dalam GVCs. Negara-negara maju berkontribusi lebih banyak dalam penelitian dan pengembangan, desain, pemasaran, dan strategi.

“Jadi kalau kita lihat smiley curve-nya, R&D itu desain dan pengadaannya 40 persen, produksi atau manufakturnya 20 persen, dan sisanya distribusi, pemasaran, pelayanannya 40 persen. Jadi nilai tambah kita sebagai basis manufaktur sekitar 20 persen.” Jadi berkembang. Di negara-negara, biasanya tempat atau tempat,” katanya.

Misalnya, perusahaan sepatu Amerika Nike tidak memiliki pabrik sepatu di negaranya. Manufaktur sebenarnya dilakukan oleh negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Namun Nike menyarankan di mana nilai tambah yang lebih besar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *