Presiden Jokowi resmi menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Aturan tersebut menuai kritik karena membolehkan badan usaha, organisasi masyarakat, atau organisasi keagamaan mengelola Wilayah Izin Pertambangan Khusus (WIUPK).
Dalam wawancara dengan Kepala Bidang Hukum dan Politik DW Jatam, M. Gemmill, ia menegaskan bahwa dirinya “tidak ingin menumbangkan sejarah organisasi keagamaan yang beramal dan berakhlak mulia serta menjadi partai arus utama.”
Wawancara selengkapnya di bawah ini: DW Indonesia: Jatam 2024 PP No. Bagaimana reaksinya terhadap angka 25?
M. Jamil: Sebenarnya 4 bulan menjelang pemilu 2024, sudah ada pembicaraan tentang organisasi publik (hutan) yang bisa mengurus perizinan, termasuk pertambangan. Keputusan Presiden ini ditandatangani oleh Presiden Jokowi. Pasal 2 menyebutkan Satgas Penanaman Modal akan memfasilitasi perizinan usaha bagi BUMN, BUMD, dan ormas. Itulah sebabnya disebutkan.
Pemenang (wakil presiden) pemilu 2024 rupanya adalah anak kandung Presiden Jokowi. Saya kira beberapa orang yang punya hubungan dengan presiden memenangkan pemilu legislatif baik DPR maupun DPD.
Kini, sekitar 5 bulan menjelang pilkada, Presiden Jokowi telah menandatangani PP Nomor 25 Tahun 2024 yang secara khusus mengatur tata cara proses perizinan organisasi publik. Mengapa ini ditandatangani? Sebab ketika Perpres Nomor 70 Tahun 2023 digunakan, keputusan perizinan tidak bisa ada dasar atau legalitasnya, harus ada di PP.
PP menyatakan bahwa organisasi kemasyarakatan harus meningkatkan kesejahteraan. Namun menurut saya kalimat ini hanya sekedar stempel untuk membenarkan diperbolehkannya lembaga keagamaan. Sebab, apa yang terjadi dalam praktik selama ini membuktikan bahwa rezim pertambangan kita, meski merupakan amanat konstitusi, “bocor” dari satu tempat ke tempat lain, dan pada akhirnya gagal menjamin kesejahteraan rakyat. Permasalahan apa yang mungkin timbul jika PP ini diterapkan?
Ada masalah dengan frasa “beroperasi berdasarkan prioritas” di mana izin pertambangan diberikan kepada organisasi-organisasi akar rumput berdasarkan prioritas.
Izin pertambangan yang dapat diberikan kepada lembaga keagamaan bersifat khusus. Inilah yang disebut dengan “Izin Usaha Pertambangan Khusus” yang merupakan bekas wilayah Perjanjian Pertambangan Batubara (PKP2B).
Datang dan berlangganan buletin mingguan Wednesday Bite secara gratis. Perkuat ilmumu di tengah minggu dan topik pembicaraan akan semakin menarik!
Sedangkan jika melihat aturan berdasarkan UU Minerba, hanya dua saja yakni BUMN dan BUMD yang bisa mendapatkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) sebagai prioritas. Hal itu tertuang dalam Pasal 75 UU Nomor 3 Tahun 2020.
Namun bagaimana jika itu BUMN dan bukan BUMD atau dalam hal ini swasta? Sektor swasta harus berpartisipasi dalam pelelangan. Pada alinea keempat disebutkan, badan usaha swasta yang ingin memperoleh IUP khusus akan dilakukan melalui lelang. Pertanyaan kita, apakah ormas ini merupakan badan usaha swasta, BUMN atau BUMD?
Tentu saja. Dalam konteks ini kita dapat melihat bahwa ormas bukanlah BUMN dan BUMD melainkan swasta (dalam kategori organisasi publik). Masalahnya adalah prioritas kata. Apa maksudnya diprioritaskan PP Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan PP Nomor 96 Tahun 2021 tanpa Lelang? Jika itu yang dimaksud, maka ada tantangan hukum yang tidak biasa yang terus berlanjut.
Masalahnya, PP yang berada di bawah undang-undang, secara teoritis akan bertentangan dengan undang-undang atau peraturan di atasnya. Ini adalah sesuatu yang tidak bisa dibenarkan.
Mengapa? Peraturan turunan hendaknya hanya bersifat tindak lanjut dan tidak menimbulkan norma atau ketentuan baru yang terkesan bertentangan dengan peraturan di atas, dalam hal ini UU Minerba. Inilah yang kami lihat sebagai potensi masalah. Apakah menurut Anda ormas keagamaan punya kemampuan mengelola tambang?
Kita tahu bahwa lembaga-lembaga keagamaan ini mempunyai sejarah panjang dan masing-masing mempunyai tujuan pendiriannya. Jika agama adalah sebuah ormas, tentu peluang dan peluang terbaiknya ada di bidang keagamaan. Kalau nanti ternyata menjadi sebuah badan usaha, saya rasa tidak akan terlalu jauh dari bidang keahlian, ilmu, sains, dan agama utamanya.
Pertanyaannya, bagaimana dengan penambangan? Bicara soal kapasitas, dalam praktik saat ini kita melihat banyak operasi penambangan yang dijalankan oleh pihak-pihak yang tidak kompeten atau sengaja tidak kompeten untuk memaksimalkan keuntungan.
Perampasan masyarakat lokal telah menyebabkan polusi dan kerusakan lingkungan, memiskinkan penduduk lokal. Ternyata masih ada tambang yang belum ditemukan. Anak-anak tenggelam di tambang batu bara. Pengorbanan digelar di Samarinda, Kalimantan Timur.
Yang ingin kami tekankan di sini adalah, jika berbicara pertambangan, sifat industrinya lebih penting dibandingkan berbicara potensi atau tidak. Esensi industri pertambangan tidak akan berubah, meski pengelolanya berganti, sifat destruktifnya tidak akan hilang.
Siapapun manajernya, karakternya akan tetap sama. Dalam penelitian kami di Jatam, kami menemukan bahwa sifat industri pertambangan, pertama, akrab dengan korupsi perizinan. Itu sebabnya mekanisme lelang ada untuk mengurangi kejadian korupsi izin yang sebenarnya. Namun, partai tersebut (jika merupakan sebuah partai) dapat mengungkapkan “korupsi dalam penguasaan negara” sebagai sebuah prioritas.
Misalnya saya keluarkan izin, Anda lembaga keagamaan, lalu saya keluarkan izin pertambangan prioritas. “Silakan saja karena kamu punya prioritas.” Setelah menyerahkan izin, sebelum saya berangkat, saya bilang ingin mencalonkan diri sebagai presiden bulan depan, itu saja informasinya. Artinya, ketika ormas keagamaan ini diutamakan, ruang operasionalnya luar biasa luas.
Lalu yang kedua, karakter selanjutnya, karena izin tersebut berpihak pada ormas khusus batubara, khususnya yang bercirikan pertambangan batubara. Ya, kekerasan ini sudah biasa. Mengapa? Ketika izin pertambangan digunakan melalui proses korupsi, masyarakat akan sangat terkejut: “Kok taman dan pemukiman tiba-tiba menjadi kawasan pertambangan?”
Karena terkejut, mereka pasti akan menolaknya karena mereka tidak pernah berbicara sejak awal. Karena proses ini korup, mereka akan sangat ditindas jika menolak. Instrumen kekerasan biasanya digunakan. Contoh konflik terjadi di Desa Vadas di Purvorejo, Jawa Tengah. Menurut saya, contoh terbaiknya adalah… Kita bisa bayangkan jika pemilik lokasi penambangan ini ternyata adalah sebuah lembaga keagamaan. Artinya, dampak konflik horizontal atau kemunculannya di kemudian hari sangat besar. Pesan Jatam kepada Ormas Keagamaan yang Kini Berpeluang Kelola Ranjau Darat dengan PP Baru Ini?
Pesan kami kepada PP 25, Ormas Keagamaan yang pertama, jangan dipandang sebagai “hadiah” karena setelah kami teliti dan selidiki sifat dari PP ini, justru lebih banyak merugikan Ormas keagamaan daripada kebaikan. . Apa ini? Institusi keagamaan akan mendapat fokus baru pada peta konflik pertambangan.
Kedua, kami sudah meneliti semua korban pertambangan batu bara di republik ini dan mereka semua adalah umat beragama yang punya hubungan dengan Catamnas, bahkan ada yang punya hubungan langsung dengan ormas keagamaan. Beberapa di antaranya adalah kepala departemen di lembaga keagamaan massal. Artinya, mereka bisa berperang dengan anggotanya sendiri.
Ketiga, kami melihat adanya potensi serangan atau penyerangan terhadap ormas-ormas keagamaan yang dilakukan oleh pihak korporasi, baik yang bersifat BUMN, BUMD, maupun swasta, legal maupun ilegal.
Mengapa? Wilayah yang disengketakan adalah bekas wilayah kontrak pertambangan batubara (PKP2B) yang dikelola secara sembarangan oleh tambang-tambang raksasa, dan seluruh sumber daya keuangan yang terorganisir, kelompok hukum yang terorganisir, para ahli, dan lain-lain. Ini juga akan diserang.
Keempat, kami melihat tanda-tanda bahwa izin pertambangan yang diperoleh organisasi besar ini mungkin akan segera dicabut di kemudian hari. Mengapa? Karena secara umum cacat, cacat hukum.
PP ini bertentangan dengan dua undang-undang berdasarkan kajian kami terhadap Jatam. Pertama, bertentangan dengan UU Minerba yang tidak dilelang karena menjadi prioritas.
Kedua, jika kita membaca Pasal 5 e juga bertentangan dengan UU Ormas, ada ketentuan yang menarik bahwa tujuan dibentuknya Ormas adalah untuk menjaga sumber daya alam dan menjaga lingkungan hidup.
Nah, kalau nanti dia ikut bisnis pertambangan, menurut saya justru sebaliknya. Karena dalam penelitian kami, tidak ada penambangan batubara yang bertujuan untuk menjaga lingkungan dan sumber daya pertambangan.
Oleh karena itu, kami sangat menghimbau kepada seluruh Ormas atau Presiden Jokowi selaku Kepala Pemerintahan untuk mengkaji ulang PP 25 Tahun 2024 untuk mencabutnya karena telah menimbulkan kegaduhan dan kekacauan masyarakat yang luar biasa.
Saya pribadi dan Jatam secara bersama tidak ingin menjungkirbalikkan sejarah lembaga keagamaan yang kita kenal dan pelajari dari buku sejarah yang penuh pengorbanan dan niat mulia. Dalam perusakan lingkungan.” Itu yang tidak kita inginkan. (mel/ae)
Wawancara DW Indonesia dilakukan oleh Iryanda Mardanuz, ditulis oleh Melisa Lolindu dan diedit sesuai konteks.