TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Presiden terpilih Prabowo Subianto tak menghadiri undangan perayaan HUT ke-22 Halal Bihalal dan Tasyakuran Partai Nyaya Sejahtera (PKS) yang digelar di Jakarta, Sabtu (27/04/2024).
Absennya Prabowo disebut-sebut menjadi pertanda PKS menolak ikut serta dalam koalisi pemerintahan Prabowo-Gibran selama lima tahun ke depan.
Bahkan, PKS sudah menggelar karpet merah di kantornya pada acara tersebut.
Belakangan, Partai Gelora dengan tegas menyatakan menolak masuk koalisi PKS Prabowo-Gibran.
2 Alasan PKS Susah Masuk Koalisi Prabowo-Gibron
Jamiluddin Ritonga, pengamat politik Universitas Esa Ungul, memperkirakan bakal sulitnya Prabowo menerima PKS ke dalam pemerintahannya karena dua alasan, yakni:
Pertama, hubungan Prabowo dan PKS kurang baik, setidaknya sejak Prabowo bergabung dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi), ujarnya.
Menurutnya, PKS sejak saat itu tidak menghormati Prabowo.
“Prabova pasti merasakan hal ini secara mendalam, sehingga bergabung dengan PKS bukanlah sebuah prioritas,” ujarnya, seperti dilansir Kompas.com.
Alasan lainnya, kata Jameeluddin, adalah karena Prabowo didukung oleh Gelora, orang-orang yang menjauh dari PKS karena para petinggi mereka tidak cocok dengan partai tersebut.
Jadi jika Prabowo memberi kesempatan kepada PKS, pasti akan mengganggu hubungannya dengan Gelora.
Padahal Gelora bekerja keras untuk memenangkan Prabow pada Pilpres 2024, kata Jameeluddin.
Karena itu, Jamiluddin menilai jika PKS diajak bergabung dalam Aliansi Indonesia Maju (KIM), bisa merugikan keuntungan internal KIM dan Prabow.
Sementara PKB dan Nasdem yang mengusung Anis pada Pilpres 2024 diperkirakan akan segera bergabung dengan Prabowo-Gibran.
Jamiluddin menilai diterimanya Prabow terhadap PKB dan Nasdem setidaknya menjadi indikasi kuat dirinya bersedia bergabung dengan KIM.
Alasan Gelora menolak PKS
Sekretaris Jenderal Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Mahfuz Sidik mengatakan partainya menolak PKS bergabung dengan Aliansi Reformasi Indonesia (KIM) yang mendukung pemerintahan Prabowo-Gibran.
Menurutnya, PKS kerap menyerang keduanya saat proses penunjukan Prabowo-Gibron sehingga tidak baik jika berkoalisi.
Seingat saya, selama proses kampanye di PKS banyak narasi ideologis yang menyerang kepribadian Prabowo-Gibron, kata Mahfuz dalam keterangannya, Minggu (28/4/2024).
“Kalau PKS mau bubar sekarang setelah proses politik selesai, apakah PKS benar-benar bisa bermain-main dengan narasi ideologinya? Apa yang akan dikatakan oleh pengikut fanatiknya? Tampaknya ada perpecahan pandangan antara elit PKS dan elit,” dia berkata.
Mahfuz mengungkapkan, PKS kerap menciptakan narasi-narasi yang mengadu domba dan memecah belah masyarakat.
Salah satunya, kata dia, mencap Prabowo sebagai pengkhianat hingga masuk ke kabinet Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Maruf Amin pada 2019.
“Saat Prabowo Subianto memutuskan berdamai dengan Jokowi pada 2019, banyak yang menyebut dia pengkhianat. Biasanya datang dari basis pendukung PKS,” kata Mahfuz.
Jawab PKS
Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera menanggapi partai Gelora yang menolak partainya bergabung dengan pemerintahan Prabowo-Gibran.
Koalisi mana yang oposisi? Ha-ha-ha, tanya istri Mardani pada Senin (29/04/2024) di akun Instagram pribadinya @mardanialisera bersama istri kader PKS Siti Onia.
Siti pun menjawab pertanyaan Mardani.
Dia menegaskan perolehan suara Partai Gelora pada pemilu legislatif tidak mencapai ambang batas parlemen (parliamentary treshold) sebesar 4 persen sehingga tidak lolos ke DPR.
“Oh iya, saya dengar PKS menolak koalisi, oh terima kasih, partai mana itu? Tidak lolos PT lho, masyaallah tabarakalla. Itu poin nol,” kata Citi.
Menurut dia, usulan PKS dan Ketua Umum Partai Gelor Anis Matta berbeda. “Saya dan Mas Anis punya usulan dan visi berbeda,” ujarnya.
Ia menyatakan, posisi partainya lebih cenderung menentang pemerintahan Prabowo-Gibran.
“Kalau saya oposisi, saya sehat, pemerintah bisa kita lindungi agar benar-benar bermanfaat bagi rakyat,” kata Mardani.
Sumber: Tribunnews.com/Kompas.com/Kompas.TV